Monday 4 July 2016

Di Batas Rasa

Kala itu hujan deras menerpa.
Aku melihatnya berlari, berusaha mencapai pedestrian yang paling dekat dengan kanopi pertokoan sekitar.
Berusaha menghindarkan diri dari air yang jelas membuatnya basah kuyup.
Aku menunggu di sudut kedai kopi, tepat di samping jendela dan melihat semua kejadian itu.

Suara lonceng angin berderu lembut tergerak oleh pintu yang terbuka.
Dia masuk.
Sekilas kepalanya menengok kesana kemari mencari sesuatu.
Sejenak mata kami bertemu, sebuah senyum langsung mengembang di wajahnya.

Dengan sedikit berlari dia menghampiri.
Sambil sedikit demi sedikit menepuk kaus yang dipakainya.
Menyingkirkan tetesan air sebanyak yang ia bisa meski aku berpikir sedikit percuma.

"Aku kira kau tak akan berada disini sebelum aku datang. Dan kukira kau tak akan mau ke kedai kopi karena aku tau kau tak suka kopi"

Aku balas senyum. "Tak suka kopi bukan berarti aku tak boleh ke kedai kopi bukan?"
Dia tertawa. Suaranya tidak terbahak kencang. Pelan tapi lembut. Terdengar renyah di telingaku.

"Kau yakin kekasihmu tak akan marah mengetahui kita bertemu disini?"

"Kau sudah mengenal kami cukup lama. Tak usah khawatirkan hal itu"

"Ini, undangan yang sebelumnya kukatakan. Untukmu"

"Waw. Kau akan menikah? Kukira itu bukan kau"

Dua nama tertera. Bersanding dalam untaian tinta berwarna emas. Salah satunya adalah namanya, nama orang yang tepat ada di hadapanku.

Entah mengapa rasanya sesak.
Ada sedikit rasa cemburu. Bukan karena dia menikah lebih cepat dariku, tapi karena dia telah bersama yang lain. Aku tahu bukanlah hak ku merasakan hal itu, tapi tetap saja kurasakan dan tidak bisa kutepis begitu saja.

Ingatanku seketika kembali pada kenangan 2 tahun yang lalu.
Tepat di hari saat dia mengatakan ini.

"Aku mencintaimu. Tapi kau sudah dengan yang lain, yang tidak lain kawanku. Dan aku terlambat merasakan ini. Tapi aku tak akan merebutmu darinya, kita tetap bisa berteman bukan?"

Lalu ingatanku kembali ke enam bulan lalu, ketika aku tanpa sengaja menanyakan perasaannya.

"Perasaanku tak berubah. Aku tak bisa melupakanmu begitu saja. Kalaupun kita berjodoh, aku tak mau dengan keadaan merebutmu dari orang lain. Karena aku ingin kau datang padaku dengan kesadaranmu sendiri bahwa memang benar kau juga mencintaiku. "

Sepertinya aku egois, merasa bahagia mendengar hal itu tetapi tak bisa membalas.

Sekarang tepat di hadapanku, dia sudah memiliki pilihan.

"Kita tetap berteman kan?"

Aku mengangguk.

" Kau hebat. Temanku yang terhebat. " kataku

Rasa sesak ini tak berhak aku rasakan.
Tapi juga sulit untuk aku enyahkan. Seseorang berkata itu pertanda aku memiliki rasa kepadanya. Sedikit. Meski hanya sedikit.

Lalu akhirnya aku sadar, kenapa aku bergumul dengan rasa sesak ketika tahu bahwa dia menemukan kebahagiaannya? Bukankah seharusnya aku bahagia untuknya? Karena aku telah memiliki orang lain yang menjadi kebahagiaanku sendiri.

Hari itu menjadi awal aku mencicipi rasa kopi lagi. Pahit. Tetapi kehangatan yang ada di cangkirnya membuatku tenang.
Persis seperti apa yang aku rasakan.

Di Batas Rasa

Kala itu hujan deras menerpa.
Aku melihatnya berlari, berusaha mencapai pedestrian yang paling dekat dengan kanopi pertokoan sekitar.
Berusaha menghindarkan diri dari air yang jelas membuatnya basah kuyup.
Aku menunggu di sudut kedai kopi, tepat di samping jendela dan melihat semua kejadian itu.

Suara lonceng angin berderu lembut tergerak oleh pintu yang terbuka.
Dia masuk.
Sekilas kepalanya menengok kesana kemari mencari sesuatu.
Sejenak mata kami bertemu, sebuah senyum langsung mengembang di wajahnya.

Dengan sedikit berlari dia menghampiri.
Sambil sedikit demi sedikit menepuk kaus yang dipakainya.
Menyingkirkan tetesan air sebanyak yang ia bisa meski aku berpikir sedikit percuma.

"Aku kira kau tak akan berada disini sebelum aku datang. Dan kukira kau tak akan mau ke kedai kopi karena aku tau kau tak suka kopi"

Aku balas senyum. "Tak suka kopi bukan berarti aku tak boleh ke kedai kopi bukan?"
Dia tertawa. Suaranya tidak terbahak kencang. Pelan tapi lembut. Terdengar renyah di telingaku.

"Kau yakin kekasihmu tak akan marah mengetahui kita bertemu disini?"

"Kau sudah mengenal kami cukup lama. Tak usah khawatirkan hal itu"

"Ini, undangan yang sebelumnya kukatakan. Untukmu"

"Waw. Kau akan menikah? Kukira itu bukan kau"

Dua nama tertera. Bersanding dalam untaian tinta berwarna emas. Salah satunya adalah namanya, nama orang yang tepat ada di hadapanku.

Entah mengapa rasanya sesak.
Ada sedikit rasa cemburu. Bukan karena dia menikah lebih cepat dariku, tapi karena dia telah bersama yang lain. Aku tahu bukanlah hak ku merasakan hal itu, tapi tetap saja kurasakan dan tidak bisa kutepis begitu saja.

Ingatanku seketika kembali pada kenangan 2 tahun yang lalu.
Tepat di hari saat dia mengatakan ini.

"Aku mencintaimu. Tapi kau sudah dengan yang lain, yang tidak lain kawanku. Dan aku terlambat merasakan ini. Tapi aku tak akan merebutmu darinya, kita tetap bisa berteman bukan?"

Lalu ingatanku kembali ke enam bulan lalu, ketika aku tanpa sengaja menanyakan perasaannya.

"Perasaanku tak berubah. Aku tak bisa melupakanmu begitu saja. Kalaupun kita berjodoh, aku tak mau dengan keadaan merebutmu dari orang lain. Karena aku ingin kau datang padaku dengan kesadaranmu sendiri bahwa memang benar kau juga mencintaiku. "

Sepertinya aku egois, merasa bahagia mendengar hal itu tetapi tak bisa membalas.

Sekarang tepat di hadapanku, dia sudah memiliki pilihan.

"Kita tetap berteman kan?"

Aku mengangguk.

" Kau hebat. Temanku yang terhebat. " kataku

Rasa sesak ini tak berhak aku rasakan.
Tapi juga sulit untuk aku enyahkan. Seseorang berkata itu pertanda aku memiliki rasa kepadanya. Sedikit. Meski hanya sedikit.

Lalu akhirnya aku sadar, kenapa aku bergumul dengan rasa sesak ketika tahu bahwa dia menemukan kebahagiaannya? Bukankah seharusnya aku bahagia untuknya? Karena aku telah memiliki orang lain yang menjadi kebahagiaanku sendiri.

Hari itu menjadi awal aku mencicipi rasa kopi lagi. Pahit. Tetapi kehangatan yang ada di cangkirnya membuatku tenang.
Persis seperti apa yang aku rasakan.

Now We Have Different Way

Well, ini postingan isinya murni curhatan saya tentang kejadian kemarin. Meskipun saya akui ini pahit, but it's better rather than nggak bilang apapun dan pergi tanpa alasan

===========================

Saya dan Mas Jun udah lama ada di komunitas yang sama, bahkan termasuk pendiri dari komunitas tersebut. Sudah hampir 4 tahun komunitas itu ada dan entah sudah  berapa kali juga saya keluar masuk komunitas itu.

Tapi kali ini saya merasa mantap untuk keluar dari komunitas tersebut. Dan perlahan melepaskan salah satu hobi ini karena semakin lama secara pribadi saya semakin tidak merasakan manfaatnya. Menuangkan kreatifitas itu penting, saya sangat memahami hal tersebut. Tetapi dengan keadaan saya sekarang membuat saya merasakan cara lain menuangkan kreatifitas tersebut dengan nyaman.

Di samping itu, saya juga lelah dengan drama-drama yang terjadi. Okelah katanya sekedar tahu, itu pun bagi para petinggi. Masalahnya, saya sudah nggak mau tau. Dari yang sudah-sudah selalu saja dari seseorang yang sama atau dengan tipe masalah yang sama.

Saya bahkan sudah tidak merasakan unsur fun dan enjoy berada di dalamnya. Seperti nyawa saya sudah tidak ada di sana. Bahkan kerap kali ketika pulang kumpulan, bukannya refresh saya jadi malah ngomongin masalah orang. It's negative side of me not the community. Saya sadar hal itu, maka dari itulah lebih baik saya yang pergi. Selain menambah daftar negative thinking pada suatu hal, kalau nanti saya gak sengaja ngomongin di luar kan komunitas juga yang jelek.

Saya juga punya target-target lain. Nggak jarang juga saya merasa buang-buang waktu banget untuk sekedar kumpulan. Kerap kali juga setiap kumpulan pikiran saya tidak tertuju pada topik yang dipikirkan teman-teman yang lain, tetapi justru kepikiran buku dan jurnal yang pengen dibaca, kepikiran buat ngereview buku, nonton film, diskusi tentang pembelajaran, pengen olahraga, dan termasuk ketika sedang menyusun skripsi.

Kemarin saya coba untuk membicarakan ketidaknyamanan saya ini kepada mas jun, setelah sekitar satu bulan terakhir berusaha memikirkan masak-masak mengenai ketidaknyamanan yang ingin saya bicarakan. Karena ada satu hal yang saya takutkan : respon mas jun dengan kemarahan.

Saya kira, kemarin dia dalam keadaan tenang, netral, dan tentu saja saya berharap dia bersikap netral, memisahkan urusan komunitas dan hubungan kami berdua sehingga tidak menambah ketidaknyamanan yang sudah saya rasakan di komunitas berimbas pada hubungan kami berdua.

Ternyata saya salah. Entah saya yang salah menilai dia atau memang cara saya menyampaikan yang salah sehingga dia tidak paham dan berbalik marah. Ketakutan dan kekhawatiran yang saya jaga secara hati-hati dan berusaha saya antisipasi malah terjadi.

Saya merasa sangat sedih.
Obrolan-obrolan hangat yang sebelumnya membuat kami tersenyum dan tertawa semua menghilang seketika itu juga.

Mas jun tidak terima dengan perasaan saya yang tidak nyaman karena dia merasa dia nyaman-nyaman saja disana dan merasa bahwa komunitas itu telah menjadi keluarganya sendiri.

Tapi saya bukan dia, saya merasakan hal yang berbeda. Saya harap dia bisa menghargai ketidaknyamanan yang saya rasakan, tapi ternyata tidak. Sikap dia tersebut justru membuat saya semakin mantap untuk keluar. Karena ketika terjadi perbedaan pendapat, hubungan kami yang jadi imbasnya, yang jadi korbannya, dan saya yang jadi pelampiasan kemarahan tersebut.

Tentu saja, saya tidak sanggup, benar-benar tidak sanggup untuk ada dalam keadaan seperti itu.

Akhir-akhir ini seringkali dia membicarakan soal rencana menikah, tapi jika perbedaan pendapat di komunitas menyulut kemarahan dia dan membuat kami bertengkar, tentu saja saya tidak mau.

Saya mengatakan ketidaknyamanan saya bukan berarti meminta dia untuk keluar juga, tidak sama sekali. Saya tetap menghargai pilihan dia untuk tetap berada di sana, menghargai kenyamanan yang dia rasakan, sama sekali tidak memaksa dia untuk keluar juga. Bahkan tidak meminta dia untuk memilih komunitas atau saya. Karena saya mengerti, keberadaan saya dan komunitas sama pentingnya bagi mas jun.

Saya coba mengatakan ini perlahan, sedikit-sedikit saja sudah menyulut kemarahan semengesalkan kemarin, apa jadinya kalau saya tiba-tiba lapor ke ketua saya pengen keluar tanpa memberi tahu dia terlebih dahulu dan membuat dia tidak tahu apa-apa soal ketidaknyamanan yang saya rasakan? Mungkin bisa membuat dia marah berminggu-minggu atau kemungkinan terburuknya putus, seperti yang pernah terjadi sekitar 1 atau 2 tahun silam. Jelas saya tidak mau.

Dia mulai tenang ketika saya mengatakan bahwa mulai detik ini saya tidak akan pernah membicarakan dan membahas soal komunitas ini, saya pun tidak akan mengganggu dia untuk tetap berada di sana. Saya hargai apa yang dia senangi tersebut, hanya saja saya tidak bisa bersama-sama merasakan hal tersebut seperti yang sudah-sudah. Saya sudah memutuskan mengambil jalan lain yang menurut saya disitulah saya ingin berada. Saya harap ketika suatu saat saya memutuskan sesuatu tanpa membicarakan terlebih dahulu kepada dia, dia tidak merespon dengan kemarahan seperti ini. Seperti yang dia katakan sebelumnya "kalau kamu mau ambil keputusan seperti ini, buat apa ngomong ke aku? Mending aku gatau apa-apa. Ngomong langsung sana sama ketua". Padahal dulu saya sempat keluar tanpa memberi tahu dia pun dia tidak kalah marah seperti yang terjadi kemarin. Karena sudah jelas saya coba katakan perlahan saja membuat dia semarah ini.

Sisa-sisa rasa kesal kemarin masih tersisa, sungguh. Terutama respon kemarahan yang saya dapatkan. Tapi semoga saja ini jadi pelajaran bahwa kenyataan itu tidak selamanya manis, ada pula pahit bahkan pada suatu hal yang jelas-jelas kami jalani bersama.

Sunday 3 July 2016

Kapan mau nulis lagi?

Kalo pikiran saya lagi kena sama pertanyaan itu, rasanya tuh ya, udah punya banyak target malah banyak yang gak bisa saya lakukan secara konsisten.

Yep.

Gak konsisten. Buktinya? Liat aja di blog ini. Tulisannya banyak yang random, waktu postingnya juga super random.

Menulis termasuk kemampuan yang paling banyak membutuhkan energi, menurut saya. Tapi segala ciri bisa dengan mudah ditemukan, bagaimana seseorang berpikir, ketertataan pemikiran, keteraturan alur, bisa terlihat dari tulisannya. Minat yang dimiliki seseorang juga bisa terlihat dari topik-topik yang dipilih.

Entah ini sebagai suatu keberuntungan atau kesialan, saya termasuk orang yang super random dalam menulis, di saat senggang rasanya lebih mudah menulis untuk mencurahkan apa yang saya sukai dan apa yang benar-benar saya pikirkan. Makanya topiknya random. Yang review buku ada, make up ada, tapi saya sendiri gatau sebenernya saya pengen konsisten dimana sih, karena pada dasarnya saya suka menulis hanya untuk kesenangan. Misalnya lagi suka karokean, pasti topiknya karokean. Atau lagi suka sama games terbaru, sudah pasti saya bakal baca seluk beluknya di wikia dan kalo sempet dan lagi mood pasti saya tulis juga review nya.

Pernahkah terbersit keinginan untuk menulis secara konsisten supaya bisa produktif?
Of course saya pengen dong.
Tapi dengan kebiasaan minat random dan mood random ini sepertinya rutinitas saya nya yang harus diperbaiki sebelum bisa fokus pada satu topik tertentu.

Ngomongin soal topik, saya tertarik banget sama topik gender yang fokus sama pedagogik. Jarang loh buku yang bisa ngebahas hal itu. Terbukti waktu saya ngerjain skripsi susah banget cari sumber berbahasa indonesia tentang pendidikan berbasis gender. Padahal seru. Aselik. Jadilah sumbernya kebanyakan full english which means otak saya berproses lebih banyak dibanding baca sumber berbahasa indonesia dan sering banget bikin saya kelaparan gara-gara mikir keras. Rata-rata topik gender ngomongin soal kesetaraan, ya itu betul, arahnya pasti ke sana. But ya, belum ada yg konsen ke arah pendidikan secara mendalam. Kebanyakan ngomongin penindasan terhadap perempuan dan dominasi laki-laki, padahal yang saya pengen tuh justru pendidikan yang berfokus pada kebutuhan gender. Laki-laki dan perempuan jelas tercipta dengan sangat berbeda secara fisik, maka dari itu akan mempengaruhi kebutuhan secara sosialnya juga untuk bisa hidup bermasyarakat. Kebutuhan tersebut salah satunya kan bisa diimplementasikan dalam pendidikan. Nah, saya pengen itu, rinci, jelas, dan aplikatif gitu.

Jadi, kapan mau mulai nulis lagi?

Tuesday 5 April 2016

Curhat 5 April 2016 : Menghadapi Konflik dengan Berpandangan Netral.

Sudah lama sekali, sangat lama ini blog gak saya kunjungi dan isi dengan tulisan apapun.

2015 yang luar biasa sudah berlalu dengan kisah petualangan Thailand dan Malaysia yang cetar membahana. Nanti saya posting cerita lengkapnya kalau sudah senggang dan ada moodnya. Yah, karena sekarang saya lagi mood curhat.

Akhir-akhir ini perasaan saya sering tidak karuan. Ketidakkaruanan tersebut sebisa mungkin saya tumpahkan dengan bekerja, bekerja, dan bekerja. Alhamdulillah, gaji yang saya terima hari ini adalah yang terbesar sejak saya bekerja di bimbel. Maklum, dengan status mahasiswa yang masih menempel saya berstatus freelance di tempat kerja jadi ya gajinya gak tetap dan tergantung seberapa banyak jadwal yang saya dapat di bulan tersebut.

Bekerja dengan banyak jadwal, kadang sampe lari-lari dari rumah ke lokasi, jadi instruktur pengganti, itu semua saya jalani dan saya nikmati sebagi proses untuk meningkatkan kualitas diri dalam berbagai aspek yang berkaitan dengan pekerjaan. Bagaimana caranya berkomunikasi dengan atasan, sesama rekan kerja, siswa bimbel. Selelah apapun tetap berusaha berpikir positif dan yakin bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan usaha hambanya.

Akan tetapi, tidak semua orang memiliki pemikiran sama. Konflik terjadi. Meskipun tidak sampai ramai ke semua orang, hanya orang-orang tertentu saja yang tau, disinilah saya merasa ditempa untuk memahami respon orang lain ketika melihat sejauh apa langkah dan kemajuan maupun kemunduran yang dilakukan oleh diri sendiri. Sempat tersulut ya wajar, tapi saya memutuskan untuk diam saja, tidak menanggapi, tidak memikirkan, dan tidak ambil pusing. Dibandingkan dengan konflik yang menempa, saya pikir lebih baik saya tetap fokus pada pencapaian belajar siswa dan bagaimana proses yang saya lakuka  untuk mencapai target tersebut. Saya tidak membahas seputar konflik kepada siapapun lagi, meskipun ya saya tulis disini dengan sangat tidak rinci. Kepada orang-orang yang saya kira terlibat pun saya tidak berfikir negatif kepada mereka. Sulit memang, awalnya. Tetapi saya putuskan untuk mengembalikan penilaian saya kepada semua orang menjadi 0, tidak ada pikiran positif dan tidak ada pikiran negatif. Apapun yang saya pikirkan tergantung orang lain memperlakukan saya dan sebisa mungkin saya memperlakukan orang lain dengan baik.

Ternyata dengan berpikir seperti itu, saya bisa menghapuskan semua prasangka kepada orang lain, saya tidak berpikir siapa yang memulai siapa yang salah siapa yang memicu maupun siapa yang bertanggungjawab atas hal ini. Saya lempeng-lempeng aja. Dan saya bisa bersikap ramah seperti biasa kepada semua orang, mengobrol seperti biasa, bersenda gurau, diskusi, dan hal lainnya yang selayaknya dilakukan oleh sesama rekan instruktur bimbel.

Dari situlah saya belajar bahwa sekeras apapun kita berusaha melakukan hal positif, tetap saja orang lain yang merespon dengan cara dan pandangan yang berbeda-beda. Juga, dengan tetap mengunci prasangka netral, sikap semakin terjaga sehingga saya bisa lebih mawas diri dalam mengambil sikap dan setiap langkah yang saya lakukan.

Sebuah pelajaran berharga yang mungkin tidak semua orang dapatkan.