Saturday 11 May 2013

Anak Didik dan Pendidik


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pendidikan berlangsung dalam pergaulan antara orang dewasa dengan anak, namun demikian dalam pergaulan tersebut tidak pada setiap saat dan tidak pada setiap situasi anak berstatus sebagai anak didik, demikian pula sebaliknya bahwa tidak pada setiap saat dan tidak pada setiap situasi orang dewasa berstatus sebagai pendidik. Baik anak didik maupun pendidik sama-sama memiliki karakteristik tertentu dalam situasi memainkan peran masing-masing. Anak didik sebagai manusia yang memiliki kemungkinan untuk dididik dan pendidik sebagai orang dewasa yang melakukan pembimbingan menuju kedewasaan kepada orang yang belum dewasa. Oleh karena itu, perlu dibahas mengenai anak didik dan pendidik secara signifikan. Hal tersebutlah yang menjadi latar belakang disusunnya makalah ini.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian hakikat anak didik?
2.      Apa saja karakteristik anak didik?
3.      Apa pengertian pendidik?
4.      Apa saja peranan – peranan pendidik?
C.    Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang dan rumusan makalah diatas, maka penulisan makalah ini memiliki tujuan, diantaranya:
1.      Mengetahui pengertian hakikat anak didik.
2.      Mengetahui karakteristik anak didik.
3.      Mengetahui pengertian pendidik.
4.      Mengetahui peranan – peranan pendidik.
D.    Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai penambah pengetahuan bermanfaat bagi mahasiswa calon guru sekolah dasar, agar mengetahui peranannya sebagai guru masa depan dan mengetahui peranan serta karakteristik anak didik. Sehingga menjadi guru profesional yang mampu menerapkan serta mengaplikasikan keilmuan pedagogik secara komprehensif.
E.     Metode Penulisan
Metode penulisan makalah ini adalah studi literatur dari buku-buku yang memuat pengetahuan pedagogik mengenai anak didik. Selain itu, dilakukan juga studi melalui informasi yang didapatkan dari internet.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hakikat Anak Didik
Pada dasarnya setiap anak memiliki keinginan dan potensi untuk menjadi seorang dewasa. Di pihak lain anak memiliki “ketergantungan” kepada orang dewasa. Ketergantungan anak kepada orang dewasa dibawanya sejak ia dilahirkan, betapa anak memerlikan bantuan dari orang tuanya sejak ia dilahirkan ke dunia. Ketergantungan anak kepada orang dewasa tentunya bukan hanya berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan fisiologosnya seperti makanan, minuman, dsb., tetapi juga berkenaan dengan pengembangan berbagai potensi yang dimilikinya.
Apabila keadaan ketergantungan anak menimbulkan tanggung jawab (tanggung jawab pendidikan) pada diri orang dewasa sehingga orang dewasa mendidiknya, maka anak itu berstatus sebagai anak didik. Sekalipun anak bergaul dengan orang dewasa, apabila tidak menimbulkan tanggung jawab pada orang  dewasa untuk mendidiknya, maka anak akan tetap tinggal sebagai anak karena orang dewasa tidak akan melakukan tindakan-tindakan pendidikan untuk membantunya atau membimbingnya ke arah kedewasaan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat di definisikan bahwa anak didik adalah anak yang karena ketergantungannya menimbulkan tanggung jawab pendidikan pada orang dewasa, sehingga secara sengaja orang dewasa itu memberikan bantuan ke arah kedewasaan.
B.     Karakteristik Anak Didik
Terdapat berbagai karakteristik anak didik yang dapat dipahami oleh para pendidik dan diperhatikan serta dipertimbangkan dalam rangka praktek pendidikan. Berbagai karakteristik anak didik itu antara lain dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1.      Anak didik adalah subjek.
2.      Anak didik sedang berkembang.
3.      Anak didik hidup dalam “dunia” tertentu.
4.      Anak didik hidup dalam lingkungan tertentu.
5.      Anak didik memiliki ketergantungan kepada orang dewasa.
6.      Anak didik memiliki potensi dan dinamika.
1)      Anak Didik adalah Subjek
Anak didik adalah manusia, bukan benda ataupun hewan, karena itu anak didik harus dipandang sebagai subjek, yaitu pribadi yang memilii kedirisendirian dan kebebasan dalam mewujudkan dirinya sendiri untuk mencapai kedewasaannya. Selain itu anak didik bersifat “unik”, artinya memiliki perbedaan daripada anak yang lainnya. Dengan demikian tidaklah benar jika anak didik dipandang dan diperlakukan sebagai “objek”, artinya diperlakukan semau gue atau semena-mena oleh pedidiknya sebagaimana halnya benda.
2)      Anak Didik sedang Berkembang
Manusia berada dalam perkembangan menuju kedewasaannya. Hasil riset Psikologi menunjukkan adanya “tahap-tahap perkembangan” manusia. Setiap tahap perkembangan memiliki “tugas-tugas perkembangan”  tertentu dan menuntut “perlakuan” tertentu pula. Sehubungan dengan itu setiap anak didik yang berada pada tahap perkembangan tertentu menuntut perlakuan tertentu pula dari orang dewasa terhadapnya.
3)      Anak Didik Hidup dalam “Dunia” Tertentu
Selain berada pada tahap perkembangan tertentu, setiap manusia hidup dalam dunia-nya sesuai tahap perkembangannya, jenis kelaminnya, dll. Misal: siswa SD memiliki dunianya sendiri, mereka tentu hidup sesuai dengan  dunianya yang berbeda dengan dunia murid TK, dunia siswa SMA dan dengan dunia orang dewasa. Anak tidak boleh dipandang sebagai “miniatur oarang dewasa”, anak bukanlah orang dewasa mini. Anak didik haruss diperlakukan sesuai dengan dunianya.
4)      Anak Didik Hidup dalam Lingkungan Tertentu
Anak didik adalah subjek yang berasal dari keluarga dengan latar belakang lingkungan alam dan sosial budaya tertentu. Oleh karena itu, anak didik akan memiliki karakteristik tertentu sebagai akibat pengaruh lingkungan dimana ia dibesarkan atau dididik. Karakteristik ini mungkin berkenaan dengan status sosialnya, budayanya, agamanya, dll. Dalam praktek pendidikan, pendidik perlu memperhatikan dan memperlakukan anak didik dalam konteks lingkungan alam dan sosial budayanya.
5)      Anak Didik Memiliki Ketergantungan kepada Orang Dewasa
Anak didik pada dasarnya memiliki ketergantungan kepada orang dewasa atau pendidik. Hal ini karena anak mempunyai kekurangan dan kelemahan tertentu. Ketergantungan anak kepada orang dewasa itu tampak dalam “ketidakberdayaan”-nya pada saat ia dilahirkan, dan kelemahan atau kekurangannya dibanding orang dewasa. Dibalik kebebasannya untuk mewujudkan dirinya sendiri dalam rangka mencapai kedewasaan, anak masih memerlukan bantuan orang dewasa.
6)      Anak Didik Memiliki Potensi dan Dinamika
Bantuan orang dewasa berupa pendidikan agar anak didik menjadi dewasa akan mungkin dicapai oleh anak didik. Hal ini disebabakan anak didik memiliki potensi untuk menjadi manusia dewasa;dan ia memiliki dinamika, yaitu aktif sedang berkembang dan mengembangkan diri, serta aktif dalam menghadapi lingkungannya dalam upaya mencapai kedewasaan.
Karakteristik anak didik sebagaimana dikemukakan di atas memberikan implikasi yang harus diperhatikan oleh pendidik. Sekalipun anak didik mempunyai keteregantungan kepada pendidik, namun pendidik tidak boleh memperlakukan anak didik secara semena-mena;anak didik tidak boleh dipandang sebagai “objek” yang dapat diperlakukan sekehendak hati pendidik.
C.     Pendidik
Kata pendidik (guru/ dosen/ seprofesinya) berasal dari bahasa Indonesia yang berarti orang yang mengajar. Dalam bahasa inggris disebut Teacher; dan dalam bahasa Arab –antara lain- disebut Mu’allim, artinya orang yang banyak mengetahui dan biasanya digunakan para ahli pendidikan sebagai sebutan untuk guru. Didalam dunia pendidikan unsur yang melakukan tugas mendidik dikenal dengan dua sebutan yaitu pendidik dan guru. Pendidik adalah orang yang berperan mendidik, membimbing dan melakukan tugas pendidikan (tarbiyah). Sedangkan guru adalah orang yang melakukan tugas mengajar (ta'lim), dan guru sering dimaknai pula sebagai pendidik meskipun dalam beberapa kasus seorang guru sering kali belum mampu bersikap sebagai pendidik sekaligus. Pendidik dalam proses belajar mengajar secara otomatis terlibat dalam proses pengajaran, demikian juga pengajar/guru pada saat melakukan proses pembelajaran ia juga harus menjaga moral dan keteladanan bagi muridnya. Pendidikan mempunyai kedalaman etik dan ruhani dibanding pengajaran atau pembelajaran. Namun, dua istilah dalam dunia pendidikan (pendidik dan guru) secara substansi tidak ada perbedaan karena pendidikan dan pengajaran tidak dapat dipisahkan secara dikotomis.
Definisi diatas juga sejalan dengan UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidik berarti tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, tutor, instruktur, fasilitator dan lain-lain, serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan
            Pendidik adalah orang dewasa yang bertanggung jawab atas pendidikan anak didik dan secara sengaja membantu anak didik agar mencapai kedewasaan. Pendidik adalah orang dewasa, adapun karakteristiknya adalah sebagai berikut :
1.      Mandiri atau mampu berdiri sendiri;
2.      Bertanggung jawab; dan
3.      Mampu menyerahkan diri.
            Karakteristik pertama orang dewasa adalah orang yang telah mandiri, artinya orang yang dalam kehidupannya tidak lagi tergantung kepada orang lain karena ia telah memiliki berbagai kelebihan dibanding anak, baik dalam hal pengetahuan, keterampilan, sikap, dan lain-lain.
            Karakteristik kedua orang dewasa adalah orang yang bertanggung jawab, artinya mampu menentukan keputusan atau tindakan atas pilihannya sendiri dan mampu menerima segala konsekuensi atas keputusan atau tindakannya.
            Karakteristik ketiga orang dewasa adalah mampu menyerahkan diri, artinya berani berkorban demi nilai-nilai dan norma-norma yang diakuinya, demi cita-cita atau demi tujuan hidupnya, pekerjaannya, orang lain atau masyarakat dan demi Tuhannya. Orang dewasa adalah orang yang telah menjadi manusia tertentu atau orang yang telah terintegrasi dengan nilai dan norma yang diakuinya.
            Pendidik adalah orang dewasa yang bertanggung jawab atas pendidikan anak. Artinya orang yang merasa terpanggil dan merasa berkewajiban membantu anak, menerima dan memposisikan diri sebagai pendidik, serta berani menerima segala konsekuensi atas resiko, atas pelaksanaan berbagai peranan sesuai posisinya.
            Pendidik adalah orang yang secara sengaja membantu anak agar mencapai kedewasaan, artinya orang yang memiliki kesadaran akan dasar dan tujuan pendidikan, serta melakukan berbagai tindakan atau kegiatan pendidikan yang kesemuanya itu diarahkan semata-mata untuk membantu anak dalam mencapai kedewasaan.
            Secara faktual pendidik dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu :
1.      Pendidik kodrati. Contoh : Ibu dan ayah
2.      Pendidik profesional atau pendidik karena jabatan. Contoh : guru, dosen, dll.
Di pihak lain motif pendidik melaksanakan pendidikan pun dapat dibedakan menjadi dua kategori :
1.      Motif intrinsik, yaitu dorongan untuk bertindak, yang muncul dari dalam diri pendidik. Contoh : rasa kasih sayang kepada anak sehingga ia rela berkorban melaksanakan pendidikan bagi anak didiknya.
2.      Motif ekstrinsik, yaitu dorongan untuk bertindak, yang muncul dari luar diri pendidik. Contoh : surat tugas untuk melaksanakan pendidikan dari pemerintah, surat tugas untuk melaksanakan pendidikan dari ketua yayasan, dsb.
            Motif intrinsik berupa kasih sayang dari pendidik terhadap anak didik merupakan motif yang sangat penting dalam rangka pendidikan. Kasih sayang akan mampu mendorong pendidik untuk mengarahkan anak didik kepada hal – hal yang baik dan bermanfaat. Atas dasar kasih sayang ia pun akan rela berkorban tanpa pamrih demi kepentingan anak didiknya. Sehubungan dengan itu kasih sayang merupakan dasar bagi pendidikan. Jan Lightart dalam Tatang dan Kurniasih menyatakan seluruh pendidikan ialah masalah kasih sayang, kesabaran dan kebijaksanaan, dan dua yang terakhir ini tumbuh bila yang pertama hadir dengan jelas. Namun demikian tidak berarti bahwa motif intrinsik menjadi kurang penting, sebab pada dasarnya tindakan manusia akan tertentukan baik oleh motif intrinsik maupun motif ekstrinsik.
            Selain hal diatas, pendidik harus mampu bergaul atau berkomunikasi dengan anak didik. Syarat untuk mampu bergaul dengan anak didik ini antara lain:
1.      pendidik harus kenal karakteristik anak didik (seperti: kebiasaan, minat, bakat, latar belakang keluarga, lingkungannya, dll);
2.      pendidik harus mampu beridentifikasi dengan anak didik, maksudnya ia harus mengenal dunia anak, tahap perkembangan anak dan bertindak sesuai dengan karakteristik keanakan anak didik. Semua ini diperlukan agar pendidik dipandang wajar dan dapat diterima oleh anak, tindakan – tindakannya dipahami anak didik dan pada akhirnya pengaruhnya dapat dan mudah diterima anak didik.
            Dalam hubungannya dengan anak didik, pendidik (khususnya para guru, seperti guru SD, dan para guru di sekolah lainnya) mempunyai peranan-peranan tertentu yang harus dilaksanakan. Peranan-peranan pendidik yang dimaksud antara lain sebagai berikut:
a.       pendidik sebagai pengganti kata hati anak didik.
b.      pendidik sebagai pengelola kegiatan belajar atau pembelajaran.
c.       pendidik sebagai teladan bagi anak didiknya.
d.      pendidik sebagai motivator belajar.
e.       pendidik sebagai pembimbing atau pamong.
f.       pendidik sebagai fasilitator.
g.      pendidik sebagai evaluator.
D.    Peranan Pendidik
a.  Pendidik sebagai Pengganti Kata Hati Anak Didik
Sesuai dengan moralitas, individualitas, dan dinamikanya, pada dasarnya anak didik berkeinginan dan berupaya untuk mencapai kedewasaan. Namun, karena anak belum sepenuhnya mengenal norma, nilai, dan tujuannya, maka pendidik harus beridentifikasi kepada anak untuk mewakili kata hati anak dalam menentukan tujuan pendidikan, isi pendidikan, dll.
b. Pendidik sebagai Pengelola Kegiatan Pembelajaran
Sebagai pengelola kegiatan pembelajaran, pendidik di lingkungan pendidikan formal (seperti: guru SD, dan para guru di sekolah lainnya, termasuk juga di TK) harus menyusun rencana kegiatan pembelajaran atau rencana persiapan pembelajaran, melaksanakan kegiatan pembelajaran, dan mengevaluasi kegiatan pembelajaran belajar. Demikian pula para pendidik di lingkungan pendidikan informal (keluarga) atau para pendidik di lingkungan pendidikan nonformal tertentu. Namun perlu dicatat, bahwa sifat pelaksanaan peranan pendidik sebagai pengelola kegiatan pembelajaran di lingkungan pendidikan informal dan pendidikan nonformal tertentu berbeda dalam hal formalitasnya dibandingkan dengan para pendidik (guru) di lingkungan pendidikan formal (sekolah).
c.  Pendidik sebagai Teladan Bagi Anak Didik
Pendidik harus berperan sebagai teladan bagi anak didik. Pendidik harus sadar bahwa ia menjadi model bagi anak didiknya dalam berimitasi dan beridentifikasi. Mengingat peranannya itu, maka nilai – nilai, norma – norma, pengetahuan, sikap, dsb. Hendaknya telah terintegrasi pada diri pendidik sebagai wujud dari kedewasaannya.
Hal di atas perlu disadari dan dilaksanakan oleh pendidik karena pada dasarnnya anak didik memiliki kecenderungan untuk melakukan imitasi dan beridentifikasi kepada pendidiknya. Apalagi anak didik yang masih kecil (seperti murid TK dan siswa di SD) relatif masih berpikir konkret dimana ia belum dapat membedakan anatara nilai dengan orang yang melaksankan nilai. Bagi mereka, nilai dan norma masih dipandang melekat dalam diri pendidiknya. Pendidik merupakan perwujudan dari nilai itu sendiri. Berkaitan dengan ini kita mengenal semboyan Ing Ngarso Sung Tulodo, artinya bahwa pendidik hendaknya menjadi teladan bagi anak didiknya.
d. Motivator
Insting, hawa nafsu, lingkungan, dll. Ada kemungkinan menghambat anak dalam belajar. Mungkin anak didik kurang bergairah karena ada hambatan atau kesulitan dalam belajar, malas belajar, atau ragu-ragu dalam melakukan sesuatu. Jika gejala ini muncul, pendidik perlu membangkitkan kemauan pada diri anak didik agar terus belajar sesuai dengan kemampuan dan kondisinya masing – masing. Dengan kata lain pendidik harus berperan sebagai motivator. Pendidik perlu melaksanakan semboyan Ing Madya Mangun Karso. Maksudnya pendidik hendaknya berperan untuk membangun kemauan belajar pada diri anak didik.
Sejalan dengan pergeseran makna pembelajaran dari pembelajaran yang berorientasi kepada guru (teacher oriented) ke pembelajaran yang berorientasi kepada anak didik (student oriented), maka peran pendidik dalam proses pembelajaran pun mengalami pergeseran, salah satunya adalah penguatan peran guru yang merupakan pendidik sebagai motivator.
Proses pembelajaran akan berhasil manakala anak didik mempunyai motivasi dalam belajar. Oleh sebab itu, pendidik perlu menumbuhkan motivasi belajar anak didik. Untuk memperoleh hasil belajar yang optimal, pendidik dituntut kreatif membangkitkan motivasi belajar anak didik, sehingga terbentuk perilaku belajar anak didik yang efektif.
Dalam perspektif manajemen maupun psikologi, kita dapat menjumpai beberapa teori tentang motivasi (motivation) dan pemotivasian (motivating) yang diharapkan dapat membantu para pendidik untuk mengembangkan keterampilannya dalam memotivasi para anak didiknya agar menunjukkan prestasi belajar atau kinerjanya secara unggul. Kendati demikian, dalam praktiknya memang harus diakui bahwa upaya untuk menerapkan teori-teori tersebut atau dengan kata lain untuk dapat menjadi seorang motivator yang hebat bukanlah hal yang sederhana, mengingat begitu kompleksnya masalah-masalah yang berkaitan dengan perilaku individu (anak didik), baik yang terkait dengan faktor-faktor internal dari individu itu sendiri maupun keadaan eksternal yang mempengaruhinya.
Terlepas dari kompleksitas dalam kegiatan pemotivasian tersebut, dengan merujuk pada pemikiran Wina Senjaya (2008), di bawah ini dikemukakan beberapa petunjuk umum bagi pendidik dalam rangka meningkatkan motivasi belajar anak didik.
1.  Memperjelas tujuan yang ingin dicapai.
2.  Membangkitkan minat anak didik.
3.  Ciptakan suasana yang menyenangkan dalam belajar.
4.  Berilah pujian yang wajar terhadap setiap keberhasilan anak didik.
5.  Berikan penilaian.
6.  Berilah komentar terhadap hasil pekerjaan anak didik.
7.  Ciptakan persaingan dan kerja sama.
Di samping beberapa petunjuk cara membangkitkan motivasi belajar anak didik di atas, adakalanya motivasi itu juga dapat dibangkitkan dengan cara-cara lain yang sifatnya negatif seperti memberikan hukuman, teguran, dan kecaman, memberikan tugas yang sedikit berat (menantang). Namun, teknik-teknik semacam itu hanya bisa digunakan dalam kasus-kasus tertentu. Beberapa ahli mengatakan dengan membangkitkan motivasi dengan cara-cara semacam itu lebih banyak merugikan anak didik. Untuk itulah seandainya masih bisa dengan cara-cara yang positif, sebaiknya membangkitkan motivasi dengan cara negatif dihindari.
E. Fasilitator
Dalam konteks pendidikan, istilah fasilitator semula lebih banyak diterapkan untuk kepentingan pendidikan orang dewasa (andragogi), khususnya dalam lingkungan pendidikan non formal. Namun sejalan dengan perubahan makna pengajaran yang lebih menekankan pada aktivitas anak didik, belakangan ini di Indonesia istilah fasilitator pun mulai diadopsi dalam lingkungan pendidikan formal di sekolah, yakni berkenaan dengan peran pendidik pada saat melaksanakan interaksi belajar mengajar.
Wina Senjaya (2008) menyebutkan bahwa sebagai fasilitator, pendidik berperan memberikan pelayanan untuk memudahkan anak didik dalam kegiatan proses pembelajaran. Peran pendidik sebagai fasilitator membawa konsekuensi terhadap perubahan pola hubungan pendidik-anak didik, yang semula lebih bersifat “top-down” ke hubungan kemitraan. Dalam hubungan yang bersifat “top-down”, pendidik seringkali diposisikan sebagai “atasan” yang cenderung bersifat otoriter, sarat komando, instruksi bergaya birokrat, bahkan pawang, sebagaimana disinyalir oleh Y.B. Mangunwijaya (Sindhunata, 2001). Sementara, anak didik lebih diposisikan sebagai “bawahan” yang harus selalu patuh mengikuti instruksi dan segala sesuatu yang dikehendaki oleh pendidik.
Berbeda dengan pola hubungan “top-down”, hubungan kemitraan antara pendidik dengan anak didik, pendidik bertindak sebagai pendamping belajar para anak didiknya dengan suasana belajar yang demokratis dan menyenangkan. Oleh karena itu, agar pendidik dapat menjalankan perannya sebagai fasilitator seyogyanya pendidik dapat memenuhi prinsip-prinsip belajar yang dikembangkan dalam pendidikan kemitraan, yaitu bahwa anak didik akan belajar dengan baik apabila:
1.    Anak didik secara penuh dapat mengambil bagian dalam setiap aktivitas pembelajaran.
2.    Apa yang dipelajari bermanfaat dan praktis (usable).
3.    Anak didik mempunyai kesempatan untuk memanfaatkan secara penuh pengetahuan dan keterampilannya dalam waktu yang cukup.
4.    Pembelajaran dapat mempertimbangkan dan disesuaikan dengan pengalaman-pengalaman sebelumnya dan daya pikir anak didik.
5.    Terbina saling pengertian, baik antara pendidik dengan anak didik maupun anak didik dengan anak didik
F. Evaluator
Dalam dunia pendidikan, kita ketahui bahwa setiap jenis dan jenjang 
pendidikan pada waktu-waktu tertentu/periode pendidikan selalu mengadakan 
evaluasi, artinya penilaian yang telah dicapai, baik oleh pihak terdidik 
maupun pendidik. 
Demikian pula setiap kali proses belajar mengajar, pendidik hendaknya menjadi evaluator yang baik. Penilaian dilakukan untuk mengetahui apakah tujuan yang telah dirumuskan itu tercapai atau tidak, apakah materi yang diajarkan sudah dikuasai atau belum oleh anak didik, dan apakah metode yang digunakan sudah cukup tepat. 
Penilaian perlu dilakukan, karena melalui penilaian pendidik dapat mengetahui keberhasilan pencapaian tujuan, penguasaan anak didik terhadap pelajaran, serta ketepatan metode mengajar. Tujuan lain penilaian ialah untuk mengetahui kedudukan anak didik di dalam kelas atau kelompoknya. 
Dalam penilaian, pendidik dapat menetapkan apakah seorang anak didik termasuk dalam kelompok anak didik pandai, sedang, kurang, atau cukup baik di kelasnya, jika dibandingkan dengan teman-temannya. 
Dengan menelaah pencapaian tujuan mengajar, pendidik dapat mengetahui 
apakah proses belajar mengajar yang dilakukan cukup efektif, cukup memberikan 
hasil yang baik dan memuaskan, atau sebaliknya. Kiranya jelas bahwa pendidik harus mampu dan terampil dalam melaksanakan penilaian, karena dalam 
penilaian, pendidik dapat mengetahui prestasi yang dicapai oleh anak didik setelah ia mengikuti proses belajar mengajar. 
Dalam fungsinya sebagai penilaian hasil belajar anak didik, pendidik hendaknya secara terus menerus mengikuti hasil belajar yang telah dicapai anak didik dari waktu ke waktu. Informasi yang diperoleh melalui evaluasi ini merupakan umpan balik terhadap proses belajar mengajar, di mana umpan balik ini akan dijadikan titik tolak untuk memperbaiki dan meningkatkan proses belajar mengajar selanjutnya. Dengan demikian, proses belajar mengajar akan terus menerus ditingkatkan untuk memperoleh hasil yang optimal. 
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendidik mempunyai peranan utama dan sangat menentukan dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, karena kegiatan belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan. 

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
            Anak didik dan pendidik memiliki karakteristiknya masing-masing. Seorang anak tidak selamanya berada pada posisi sebagai anak didik, begitu juga sebaliknya. Hal tersebut menjadikan anak didik dan pendidik memiliki peranannya yang berbeda satu sama lain. Peran pendidik menjadi satu hal yang paling utama karena pendidik harus bisa memenuhi kebutuhan anak didiknya dalam rangka mencapai kedewasaan. Maka dari itu, seorang calon guru SD sebagai seorang pendidik harus memahami hal-hal berkaitan dengan anak didik dan dirinya sendiri sebagai seorang pendidik.
B. Saran
            Saran untuk makalah ini agar bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya dan setiap informasinya bisa menjadi wawasan pengetahuan bagi kita semua. Semoga makalah ini menjadi stimulus bagi pembaca agar menggali informasi yang lebih luas lagi mengenai anak didik dan pendidik.

DAFTAR PUSTAKA

Sadulloh Uyoh, dkk. (2011). Pedagogik. Bandung: Alfabeta.
Syarifudin Tatang, Kurniasih. (2009). Pedagogik Teoritis Sistematis. Bandung: Percikan Ilmu.

Sudrajat, Akhmad. (2008). Peran Guru sebagai Motivator. [Online] Tersedia : http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/08/22/peran-pendidik-sebagai-motivator-dalam-ktsp/ [13 April 2013]

Mantabjaya. (2011). Guru sebagai Evaluator. [Online] Tersedia : http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2154390-pendidik-sebagai-evaluator/#ixzz2QQI9wLkt [12 April 2013]

Sudrajat, Akhmad. (2008). Peran Guru sebagai Motivator. [Online] Tersedia : http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/08/18/peran-pendidik-sebagai-fasilitator/ [13 April 2013]

No comments:

Post a Comment