Saturday 11 May 2013

Filsafat Pendidikan Pragmatisme


Pengantar Filsafat Pendidikan Pragmatisme
A.      Hakikat Manusia Menurut Filsafat Pragmatisme
Hakikat Manusia. Manusia tidak terpisah dari realitas pada umumnya, sebab manusia adalah bagian daripadanya dan terus-menerus bersamanya. Karena realitas terus berubah, manusia pun merupakan bagian dari perubahan tersebut. Beradanya manusia di dunia ini adalah suatu kreasi dari suatu proses yang bersifat evolusi (S.E. Frost Jr., 1957). “Manusia laki-laki dan perempuan-adalah hasil evolusi biologis, psikologis dan sosial” (Edward J. Power, 1982) sejalan dengan perubahan yang terus-menerus terjadi tentunya akan muncul berbagai permasalahan dalam kehidupan pribadi dan masyarakatnya.

B.       Hakikat Realitas Menurut Filsafat Pragmatisme
Hakikat Realitas. Pragmatisme dikenal pula dengan sebutan Eksperimentalisme dan Instrumentalisme. Menurut penganut aliran ini, hakikat realitas adalah segala sesuatu yang dialami manusia (pengalaman); bersifat plural (pluralistic); dan terus-menerus berubah. Mereka beragumentasi bahwa realita adalah sebagaimana dialami melalui pengalaman setiap individu (Callahn and Clark, 1983). Hal ini sebagaimana dikemukakan William James : “Dunia nyata adalah dunia pengalaman manusia” (S.E. Frost Jr., 1957). Sifat plural realitas antara lain tersurat dalam pernyataan John Dewey: “Dunia yang ada sekarang ini adalah dunia pria dan wanita, sawah-sawah, pabrik-pabrik, tumbuhan-tumbuhan dan binatang-binatang, kota yang hiruk pikuk, bangsa-bangsa yang sedang berjuang, dsb. .... adalah dunia pengalaman kita” (H.H. Titus et all, 1959). Mengingat realitas ini terus berubah, maka realitas tak pernah lengkap atau tak pernah selesai. Sebab itu tujuan akhir relitas pun berada bersama perubahan tersebut. Jadi menurut Pragmatisme, hanya realitas fisik yang ada, teori umum tentang realitas tidak mungkin dan tidak diperlukan (Edward J. Power , 1982).

Realitas dan dunia yang kita amati, tidak bebas dari ide Manusia dan sekaligus juga tidak terikat kepadanya. Realitas merupakan interaksi antara manusia dengan lingkungannya. Manusia dan lingkungannya berdampingan, dan memiliki tanggung jawab yang sama terhadap realitas. Dunia akan bermakna sejauh manusia mempelajari makna yang terkandung didalamnya. Perubahan merupakan esensi realitas, dan manusia harus siap mengubah cara-cara yang akan dikejakannya. Manusia pada hakikatnya plastis dan dapat berubah.
Teori Pragmatisme tentang perubahan yang ters-menerus, didasari pandangan Heraclaitos (540-480 SM), seorang filosof Yunani, dengan Toeri “panta rei” artinya mengalir secara terus-menerus. Heraclaitos berpendapat bahwa tidak ada sungai yang dialiri oleh air yang sama. Bagi Pragmatisme tidak dikenal istilah metafisika, karena mereka tidak pernah memikirkan dibalik realitas yang dialami dan diamati oleh panca indera manusia. Realitas adalah apa yang dapat dialami dan diamati secara indrawi.
Manusia dipandang sebagai makhluk fisik sebaga hasil evolusi biologis, sosial, dan psikologis, karena manusia dalam keadaan terus-menerus berkembang. Manusia hidup dalam keadaan “menjadi” (becoming) secara terus-menerus (on goingness). Manusia secara mendasar adalah plastis dan dapat berubah. Anak merupakan organisme yang aktif, secara terus-menerus merekonstruksi dan menginterpretasi serta mereorganisasi kembali pengalaman-pengalamannya. Anak akan tumbuh apabila berhubungan dengan yang lainnya. Anak harus mempelajari hidup dalam komunitas individu-individu, bekerja sama dengan mereka, dan menyesuaikan dirinya secara cerdas terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
Tema pokok filsafat pragmatisme adalah:
a)    Esensi realitas adalah perubahan;
b)    Hakikat sosial dan biologis manusia yang esensial;
c)    Relativitas nilai;
d)   Penggunaan intelegensi secara kritis.
Watak pragmatisme adalah humanitis dan menyetujui suatu dalil bahwa manusia adalah ukuran segala-galanya (man is the measure of all things). Tujuan dan alat pendidikan harus fleksibel dan terbuka untuk perbaikan secara terus-menerus. Tujuan dan cara utuk mencapai tujuan pendidikan harus rasional dan ilmiah.

C.      Hakikat Pengetahuan Menurut Filsafat Pragmatisme
Para filsuf Pragmatisme menolak dualisme antara subjek (manusia yang mempersepsi dengan objek yang dipersepsi). Manusia adalah kedua-duanya dalam dunia yang dipersepsinya dan dari dunia yang ia persepsi. Segala sesuatu dapat diketahui melalui pengalaman, adapun cara-cara memperoleh pengetahuan yang diandalkan adalah metode ilmiah atau metode sains sebagaimana disarankan oleh John Dewey. Pengalaman tentang fenomena menentukan pengetahuan. Karena fenomena terus-menerus berubah, maka pengetahuan dan kebenaran tentang fenomena itu pun mungkin berubah. Bagaimanapun, kebenaran pada hari ini harus juga dipertimbangkan mungkin berubah esok hari (Callahan and Clark, 1983).
Menurut filsuf pragmatisme, suatu pengetahuan hendaknya dapat diverifikasi dan diaplikasikan dalam kehidupan. Adapun kriteria kebenarannya adalah workability, satisfaction and result. Pengetahuan dinyatakan benar apabila dapat dipraktekkan, memberikan hasil dan memuaskan. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pengetahuan bersifat relatif; pengetahuan dikatakan bermakna apabila dapat diaplikasikan. Sebab itu pragmatisme dikenal pula sebagai Instrumentalisme (Edward J. Power, 1982).
Pragmatisme yakin bahwa akal manusia aktif dan selalu ingin meneliti, tidak pasif dan tidak begitu saja menerima pandangan tertentu sebelum dibuktikan secara empiris. Pikiran (rasio) tidak bertentangan dan tidak terpisah dari dunia, melainkan merupakan bagian dari dunia. Pengetahuan sebagai transaksi antara manusia dan lingkungannya, dan kebenaran merupakan bagian dari pengetahuan. Pengalaman manusia berubah, maka akal tidak memerlukan pengetahuan yang tetap dan abadi. Apa yang dikatakan nyata adalah apa yang dapat dialami dengan pengalaman. Inti dari pengalaman adalah berupa  masalah-masalah yang dialami individu atau sekelompok individu. Manusia dalam kehidupannya, baik individual maupun sosial, memerlukan alat untuk memecahkan masalah tersebut adalah pengetahuan-pengetahuan tentatif atau hipotesis-hipotesis. Karena itulah prgamatisme Dewey disebut instrumentalisme.
Pragmatisme mengajarkan bahwa tujuan semua berfikir adalah kemajuan hidup. Di balik semua gambaran berfikir terdapat tujuan tertentu untuk memajukan dan memperkaya kehidupan walaupun kita tidak menyadarinya. Semua kebenaran mengandung watak pragmatis. Dalam arti dapat mengabdi dalam tujuan-tujuan tertentu dari alam dan dari pengalaman manusia, dan akan bernilai apabila dihubungkan dengan tujuan-tujuan tertentu dari alam dan pengalaman manusia, dan akan bernilai apabila dihubungkan dengan tujuan-tujuan tersebut. Jadi nilai pengetahuan manusia harus dinilai dan diukur dengan kehidupan praktis. Menurut James, tidak ada ukuran untuk menilai kebenaran absolut. Benar atau palsunya pikiran akan terbukti di dalam penggunaannya dalam praktik dan tergantung dari berhasil atau tidaknya tindakan tersebut.
Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang berguna. Menurut James, suatu ide itu benar apabila memiliki konsekuensi yng menyenangkan. Menurut Dewey dan Pierce, suatu ide itu benar apabila berakibat memberi kepuasan jika diuji secara objektif dan ilmiah. Secara khusus pragmatisme mengemukakan bahwa ide yang benar tergantung kepada konsekuensi-konsekuensi yang diobservasi secara objektif, dan ide tersebut secara operasional.
Teori kebenaran merupakan alat yang kita pergunakan untuk memecahkan masalah dalam pengalaman kita. Oleh karena itu, suatu teori harus dinilai dalam pengertian mengenai keberhasilan menjalankan fungsinya. Jadi, menurut pragmatisme, suatu teori itu benar apabila berfungsi. Kebenaran bukan sesuatu yang statis, melainkan tumbuh berkembang dari waktu ke waktu. Menurut James (Harun Hadiwijono, 1980), tidak ada kebenaran mutlak berlaku umum, bersifat tetap, berdiri sendiri, lepas dari akal pikiran yang mengetahui. Pengalaman kita berjalan terus, dan segala yang kita anggap benar dalam pengalaman senantiasa berubah, karena dalam praktiknya apa yang kita anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Oleh karena itu, tidak ada kebenaran yang mutlak, yang ada hanya kebenaran-kebenaran, yaitu kebenaran yang ada dalam pengalaman yang khusus yang setiap saat dapat diubah oleh pengalaman berikutnya.
Pragmatisme juga berpandangan bahwa metode intelijen merupakan cara ideal untuk memperoleh pengetahuan. Kita mengerti segala sesuatu dengan penempatan dan pemecahan masalah. Intelegensi mengajukan hipotesis untuk memecahkannya. Hipotesis yang mampu memecahkan masalah secara gemilang adalah hipotesis yang menjelaskan fakta-fakta dari masalah tersebut.
Untuk dapat memecahkan masalah-masalah sosial dan perorangan yang paling penting, diharapkan menerapkan logika sains pada pengalaman yang problematis. Menrut John Dewey, yang dikemukakan oleh Wayne Rasyidin (1992;114), dalam menerapkan konsep pragmatisme secara eksperimental dalam memecahkan masalah hendaknya melalui lima tahapan, yaitu;
Langkah ke-1 : Inderteminate Solution, timbulnya situasi ketegangan di dalam pengalaman yang perlu dijabarkan secara spesifik.
Langkah ke-2 : Diagnosis, artinya timbul upaya mempertajam masalah sampai pada menentukan faktor-faktor yang diduga menyebabkan timbulnya masalah.
Langkah ke-3 : Hipotesis, artinya ada upaya menemukan gagasan yang diperkirakan dapat mengatasi masalah, dengan jalan mengarahkan pengumpulan informasi yang penting-penting.
Langkah ke-4 : Hipotesis testing, yaitu pelaksanaan berbagai hipotesis yang paling relevan secara teoritis untuk membandingkan implikasi masing-masing kalau dipraktikan.
Langkah ke-5 : Evaluation, artinya mempertimbangkan hasilnya setelah hipotesis terbaik dilaksanakan, yaitu dalam kaitan dengan masalah yang dirumuskan pada langkah ke-2 dan ke-3.
Berdasarkan langkah-langkah di atas, Dewey berusaha menyusun suatu teori yang logis dan tepat berdasarkan konsep-konsep pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang beraneka ragam, dalam arti alternatif-alternatif. Menurut Dewey, yang benar adalah apa yang pada akhirnya disetujui oleh semua orang yang menyelidikinya.
Selanjutnya pada bagian lain Dewey mengatakan bahwa pengalaman merupakan satu interaksi antara lingkungan dengan organisme biologis. Pengalaman manusia membentuk aktifitas untuk memperoleh pengetahuan. Kegiatan berfikir timbul disebabkan karena adanya gangguan terhadap situasi (pengalaman) yang menimbulkan masalah bagi manusia (langkah kesatu dan kedua). Untuk memecahkan masalah tersebut disusun hipotesis sebagai bimbingan bagi tindakan berikutnya (langkah ketiga). Dewey menegaskan, bahwa berpikir, khususnya berpikir ilmiah merupakan alat untuk memecahkan masalah. Itulah yang disebut metode Intelejen atau metode ilmiah.
John Dewey dengan pandangannya yang disebut Instrumentalisme barangkali merupakan pemikir yang sangat berpengaruh pada zamannya sehingga ia dapat memeberikan corak kebudayaan Amerika sampai sekarang dengan pandangan hidup pragmatis dan sistem demokrasinya. Ia mengembangkan sebuah teori pengetahuan dari sudut peranan biologis dan psikologis. Konsep-konsepnya merupakan bimbingan untuk mengarahkan kegiatan intelektual manusia ke arah masalah sosial yang timbul pada waktu itu. Menurut Dewey, filsafat dalam memberikan pengarahan-pengarahan bagi perbuatan dalam kenyataan hidup oleh karena itu, filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran-pemikiran metafisik yang tidak ada faedahnya. Filsafat harus berpijak pada pengalaman, dan meneliti serta mengolah pengalaman tersebut secara kritikal. Penelitian berkaitan dengan penyusunan kembali pengalaman yang dilakukan dengan sengaja. Oleh karena itu, penelitian dengan penilaiannya merupakan alat untuk memperoleh pengetahuan empiris.
Implikasi teori epistemologi terhadap pendidikan, khususnya dalam proses belajar mengajar di sekolah, guru harus menyusun situasi belajar di sekitar masalah khusus, yang pemecahannya diserahkan kepada siswa. Pemuda merupakan pelajar alami, karan secara alamiah mereka ingin tahu, ingin mengadakan eksplorasi terhadap lingkungan dimana ia tinggal. Anak akan lebih banyak belajar dari apa yang mendorong dia untuk meneliti dan menarik perhatiannya. Guru harus memelihara keinginan atau dorongan anak untuk meneliti. Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk (1) belajar apa yang ia ingin ketahui, (2) selalu ingin mengetahui yang berkaitan dengan pelajaran, seperti sains, bahasa, sejarah dan lain-lainnya.

D.      Hakikat Nilai Menurut Filsafat Pragmatisme
Pragmatisme mengemukakan pandangannya tentang nilai, bahwa nilai itu relatif. Kaidah-kaidah moral dan etik tidak tetap, melainkan selalu berubah, seperti perubahan kebudayaan masyarakat, dan lingkungannya. Pragmatisme menyarankan untuk menguji kualitas nilai dengan cara yang sama seperti kita menguji kebenaran pengetahuan dengan metode empiris. Nilai maupun etis akan dilihat dari perbuatannya, bukan dari segi teorinya. Jadi, pendekatan terhadap nilai adalah cara empiris berdasarkan pengalaman-pengalaman manusia, khususnya kehidupan sehari-hari. Pragmatisme tidak menaruh perhatian terhadap nila-nilai yang tidak empiris, seperti nilai supernatural, nilai universal, bahkan termasuk nilai-nilai agama.
Menurut pragmatisme, kita harus mempertimbangkan perbuatan manusia dengan tidak memihak dan secara ilmiah memiliki nilai-nilai yag tampaknya memungkinkan untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi manusia. Nilai-nilai itu tidak akan dipaksakan dengan kekuatan apapun kepada kita untuk diterimanya. Nilai-nilai itu akan disetujui setelah diadakan diskusi secara terbuka yang didasarkan atas bukti-bukti empiris dan objektif. Nilai lahir dari keinginan, dorongan, dan perasaan, serta kebiasaan manusia, sesuai dengan watak manusia sebagai kesatuan antara faktor-faktor biologis dan faktor sosial dalam diri dan kepribadiannya. Nilai merupakan suatu realitas dalam kehidupan, yang dapat dimengerti sebagai suatu wujud dalam perilaku manusia, sebagai suatu pengetahuan, dan sebagai suatu ide, suatu perilaku, pengetahuan, atau ide dikatakan benar apabila mengandung kebaikan, berguna, dan bermanfaat bagi manusia untuk penyesuaian diri dalam kehidupan pada suatu lingkungan tertentu.
Menurut faham pragmatisme, nilai hakikatnya diturunkan dari kondisi manusia. Nilai tidak bersifat eksklusif, tidak berdiri sendiri melainkan ada dalam suatu proses, yaitu dalam tindakan/perbuatan manusia (individual) merupakan bagian dari masyarakatnya, baik atau tidak baik tindakan-tindakannya dinilai berdasarkan hasil-hasilnya di dalam masyarakat. Jika akibat yang terjadi berguna bagi dirinya dan masyarakatnya, maka tindakan tersebut adalah baik. Nilai etika dan estetika tergantung pada keadaan relatif dari situasi yang terjadi. Nilai-nilai akhir (ultimate values) tidaklah ada, benar itu selalu relatif dan tergantung pada kondisi yang ada (conditional). Pertimbangan-pertimbangan nilainya adalah berguna jika bermakna untuk kehidupan yang intelegen, yaitu hidup yang sukses, produktif dan bahagia (Callahan anf Clark, 1983). Karena itu aliran ini dikenal dengan Pragmatisme atau Eksperimentalisme.
Implikasi Pendidikan
A.      Tujuan Pendidikan Menurut Filsafat Pragmatisme
Filsuf pragmatisme berpendapat bahwa pendidikan harus mengajarkan seseorang tentang bagaimana berpikir dan menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terjadi di dalam masyarakat. Sekolah harus bertujuan mengembangkan pengalaman-pengalaman tersebut yang akan memungkinkan seseorang terarah kepada kehidupan yang baik. Tujuan-tujuan pendidikan tersebut meliputi:
·       Kesehatan yang baik
·       Keterampilan-keterampilan kejuruan (pekerjaan)
·       Minat-minat dan hobi-hobi untuk kehidupan yang menyenangkan.
·       Persiapan untuk menjadi orang tua.
·       Kemampuan untuk bertransaksi secara efektif dengan masalah-masalah sosial (mampu memecahkan masalah-masalah sosial secara efektif)
Tujuan-tujuan khusus pendidikan sebagai tambahan tujuan-tujuan di atas, bahwa pendidikan harus meliputi pemahaman tentang pentingnya demokrasi. Pemerintahan yang demokratis memungkikan setiap warga negara tumbuh dan hidup melalui interaksi sosial yang memberikan tempat bersama dengan warga negara lainnya. Pendidikan harus membantu siswa menjadi warga negara yang demokratis (Callahan and Clark, 1983). Karena itu menurut pragmatisme pendidikan hendaknya bertujuan menyediakan pengalaman untuk menemukan/memecahkan hal-hal baru dalam kehidupan pribadi dan kehidupan sosialnya (Edward J. Power, 1982).
Untuk mengetahui apa yang menjadi tujuan pendidikan pragmatisme, tidak terlepas dari pandangannya tentang realitas, teori pengetahuan dan kebenaran,  serta teori nilai. Seperti telah dikemukakan, bahwa realitas merupakan interaksi manusia dengan lingkungannya. Dunia akan bermakna sejauh manusia mempelajari makna yang terkandung di dalamnya. Perubahan merupakan esensi dari realitas, dan harus siap mengubah cara-cara yang akan kita kerjakan. Mengenai kebenaran, pada prinsipnya kebeneran itu tidak mutlak, tidak berlaku umum, tidak tetap, tidak berdiri sendiri dan tidak terlepas dari akal yang mengenal. Yang ada hanya kebenaran khusus, yang setiap saat bis diubah oleh pengalaman berikutnya. Sedangkan mengenai nilai, pragmatism menganggap bahwa nilai itu relative. Kaidah-kaidah moral dan eika tidak tetap, melainkan terus berubah seperti perubahan kebudayaan dan masyarakat.
Dari uraian diatas, dapat ditafsirkan apa dan bagaimana tujuan pendidikan serta bagaimana pelaksanaan pendidikan diorganisasikan. Objektifitas tujuan pendidikan harus diambil dari masyarakat dimana si anak hidup, dimana pendidikan berlangsung, karena pendidikan berlangsung dalm kehidupan. Tujuan pendidikan tidak berada di luar kehdupan melainkan berada di dalam kehidupan sendiri. Seperti telah di uraikan bahwa esensi relaitas adalah perubahan, tidak ada kebenaran mutlak, serta nilai itu relatif, maka berkaian dengan tujuan pendidikan, menurut pragmatism tidak ada tujuan umum yang berlaku secara universal, tidak ada tujuan yang tetap ddan pasti. Yang ada hanyalah tujuan khusus belaka, tidak ada tujuan yang berlaku umum yang universal. Jadi, tujuan pendidikan tidak dapat dietapkan pada semuan masyarakat kecuali apabila terdapat hubungaan timbale balik antara masing-masing individu dalam masyarakat tersebut.
Walaupun pragmatisme tidak mengenal tujuan akhir pendidikan namun Dewey (1964:94) mengemukakan beberapa kriteria dalam menentukan tujuan pendidikan yaitu harus dihasilkan dari situasi kehidupan di sekeliling anak dan pendidik, harus fleksibel dan mencerminkan aktifitas bebas. Tujuan pendidikan, menurut pragmatisme bersifat temporer, karena tujuan itu merupakan alat untuk bertindak.  Apabila suatu tujuan telah tercapai maka hasil tujuan tersebut menjadi alat unuk mencapai tujuan berikutnya. Dengan tujuan pendidikan individu harus mampu melanjutkan pendidikan. Hasil belajar harus dapat dijadikan alat untuk tumbuh.
Beberapa karaktteristik tujuan pendidikan yang harud diperhatikan adalah:
1.    Tujuan pendidikan hendaknya ditentukan dari kegiatan yang didasarkan atas kebutuhan instrinsik anak didik.
2.    Tujuan pendidikan harus mampu memunculkan suatu metode yang dapat mempersatukan aktifitas pengajaran yang sedang berlangsung.
3.    Tujuan pendidikan adalah spesifik dan langsung pendidikan harus tetap menjaga untuk tidak mengatakan  yang berkaitan dengan tujuan umum dan tujuan akhir.
Tujuan pendidikan adalah suatu kehidupan yang baik, yaitu kehidupan seperti yang digambarkan oleh Kingsley Price (1962:476), “Kehidupan yang baik dapat dimiliki, baik oleh individu maupun oleh masyarakat. Kehidupan yang baik merupakan suatu pertumbuhan maksimum dan hanya dapat diukur oleh mereka yang memiliki inelegensi (kecerdasan) yang baik. Perbuatan yang intelijen (cerdas) merupakan jaminan terbaik untuk melangsungkan pertumbuhan, merupakan jaminan terbaik untuk moral yang baik.
Pada hakikatnya masyarakat adalah terbaik, namun masyarakat yang demokratis merupakan masyarakat terbaik, dimana terdapat kesempatan untuk setiap pekerjaan, dan dalam demokrasi tidak mengenal adanya stratifikasi sosial. Kesamaan-kesamaan merupakan jaminan bahwa setiap orang akan dapat mengambil bagian melaksanakan segala aktivitas lembaga yang ia masuki. Penggunaan intelegensi secara maksimal, berarti memberi kesempatan suatu pertumbuhan kepada individu secara maksimal.
B.       Peranan Siswa Menurut Filsafat Pragmatisme
Dalam filsafat pragmatisme, nilai kebenaran bersifat relatif yang berkesesuaian dengan nilai-nilai yang disepakati masyarakat dan menunjang kepada kehidupan yang sesuai harapan di masa depan. Maka dari itu, siswa memiliki peranan untuk mengolah setiap pengalaman yang didapatkannya untuk mengetahui kebenaran yang ada di masyarakatnya. Dalam hal ini, siswa akan mampu merekonstruksi setiap pengalaman yang ia dapatkan secara kronologis selama ia hidup bermasyarakat serta berinteraksi dengan manusia dan alam di sekitarnya. Setiap pengalaman yang ia dapatkan nantinya akan menjadi suatu pertimbangan bagi siswa tersebut dalam menyelesaikan suatu masalah baik yang berhubungan dengan dirinya maupun orang lain.

C.      Peranan Guru Menurut Filsafat Pragmatisme
Dalam Pragmatisme, belajar selalu dipertimbangkan untuk menjadi seorang individu. Dalam pembelajaran peranan guru bukan “menuangkan” pengetahuannya kepada siswa, sebab upaya tersebut merupakan upaya tak berbuah. Sewajarnya, setiap apa yang siswa pelajari sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan, minat-minat dan masalah pribadinya. Dengan kata lain isi pengetahuan tidak bertujuan dalam dirinya sendiri, melainkan bermakna untuk suatu  tujuan. Dengan demikian seorang siswa yang menghadapi suatu pemasalahan akan mungkin untuk merekonstruksi lingkungannya untuk memecahkan kebutuhan yang dirasakannya. Untuk membantu siswa, guru harus berperan :
·      Menyediakan berbagai pengalaman yang akan memunculkan motivasi. Field Trips, film-film, catatan-catatan, dan tamu ahli merupakan contoh-contoh aktifitas yang dirancang untuk memunculkan minat siswa terhadap permasalah penting;
·      Membimbing siswa untuk merumuskan batasan masalah secara spesifik;
·      Membimbing merencanakan tujuan-tujuan individual dan kelompok dalam kelas untuk digunakan dalam memecahkan masalah;
·      Membantu para siswa dalam mengumpulkan informasi berkenaan dengan masalah. Secara esensial, guru melayani para siswa sebagai pembimbing dengan memperkenalkan keterampilan, pemahaman-pemahaman, pengetahuan dan penghayatan-penghayatan melalui penggunaan buku-buku, komposisi-komposisi, surat-surat, narasumber, film-film, field trips, televisi atau segala sesuatu yang tepat digunakan;
·      Bersama-sama kelas mengevaluasi apa yang telah dipelajari; bagaimana mereka mempelajarinya; dan informasi baru apa yang setiap siswa temukan oleh dirinya (Callahan and Clark, 1983).
Edward J. Power (1982) menyimpulkan pandangan pragmatisme bahwa siswa merupakan organisme yang rumit yang mempunyai kemampuan luarbiasa untuk tumbuh; sedangkan guru berperanan untuk memimpin dan membimbing pengalaman belajar tanpa ikut campur terlalu jauh atas minat dan kebutuhan siswa.
Mengacu kepada prinsip bahwa segala sesuatu terus berubah, prinsip bahwa pengetahuan terbaik yang diperoleh melalui eksperimentasi ilmiah juga selalu berubah dan bersifat relatif, dan prinsip-prinsip relativisme nilai-nilai, maka Callahan and Clark (1983) menyimpulkan orientasi pendidikan pragmatisme adalah Progresivisme. Artinya pendidikan pragmatisme menolak segala bentuk formalisme yang berlebihan dan membosankan dari pendidikan sekolah yang tradisional. Anti tehadap otoritarianisme dan absolutisme dalam berbagai bidang kehidupan, terutama dalam berbagai bidang kehidupan agama, moral, sosial, politik, dan ilmu pengetahuan. Sebaliknya, pendidikan Pragmatisme dipandang memiliki kekuatan demi terjadinya perubahan sosial dan kebudayaan melalui penekanan perkembangan individual peserta didik. Selain itu Callahan and Clark (1983) memandang rekonstrukionisme adalah variasi dari progresivisme, yaitu suatu orientasi pendidikan yang ingin merombak tata susunan kebudayaan lama, dan membangun tata susunan kebudayaan baru melalui pendidikan/sekolah. Perbedaannya dengan progresivisme yaitu bahwa rekonstruksionisme tidak menekankan perubahan masyarakat dan kebudayaan melalui perkembangan individual siswa (child centered), melainkan melalui rekayasa sosial dengan jalan pendidikan atau sekolah.
Guru di sekolah harus merupakan suau petunjuk jalan serta pengamat tingkah laku anakuntuk mengetahui apakah yang menjdi minat perhatian anak. Dengan mengamati perilaku anak tersebut, guru dapat menentukan masalah apa yang akan dijadikaan pusat perhatian anak. Jadi dalam proses belajar mengajar ada beberapa saran bagi guru yang harus diperhatikan, terutama dalam menghadapi dalam kelas, yaitu:
1.    Guru tidak boleh memaksakan suatu ide atau pekerjaan yang tidak sesuai dengan minat dan kemmapuan siswa;
2.    Guru hendaknya menciptakan situasi yang menyebabjab siswa akan merasakn adnya suatu masalah yang ia hadapi, sehingga timbul minat  untuk memecahkan masalah tersebut;
3.    Untuk membangkitkan minat anak hendaklah guru mengenal kemampuan serta minat masing-masing siswa;
4.    Guru harus dapat bisa menciptakan situasi yang menmbulkan kerja sama dalam belajar, antara siswa dengan siswa, antara siswa denga guru, begitu pula antara dengan guru. (Kingley Price, 1962:467)
Jadi tugas guru dalam proses belajar mengajar adalah sebagai fasilitator, memberi dorongan dan kemudahan kepada siswa untuk bekerja bersama-sama, meyelidiki dan mengamati sendiri, berpikir dan menarik kesimpulan sendiri, membangun dan menghiasi sendiri sesuai dengan minat yang ada pada dirinya. Dengan jalan ini si anak akan belajar sambil bekerja anak harus dibangkitkan kecerdasannya  agar pada diri anak timbul khasrat untuk menyelidik secara teratur dan akhirnya dapat berpikir ilmiah dan logis, yaitu cara berpikir yang didasarkan pada fakta dan pengalaman.
D.      Kurikulum Pendidikan Menurut Filsafat Pragmatisme
Menurut para filsuf Pragmatisme, tradisi demokratis adalah tradisi memperbaiki diri sendiri (a self-correcting tradition). Implikasinya warisan-warisan sosial budaya dari masa lalu tidak menjadi fokus perhatian pendidikan. Sebaliknya, pendidikan seharusnya terfokus kepada kehidupan yang baik pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Standar kebaikan seseorang diuji secara terus-menerus dan diverifikasi melalui pengalaman-pangalaman yang berubah. Pendidikan harus dilaksanakan untuk memelihara demokrasi. Sebab hakikat demokrasi adalah dinamika dan perubahan sebagai hasil rekonstruksi pengalaman yang terus-menerus belangsung. Namun demikian rekonstruksi ini tidak menuntut atau tidak meliputi perubahan secara menyeluruh. Hanya masalah-masalah sosial yang serius dalam masyarakat yang diuji ulang agar diperoleh solusi-solusi baru.
Dalam pandangan pragmatisme, kurikulum sekolah seharusnya tidak terpisahkan dari keadaan-keadaan yang riil dalam masyarakat. Dalam pendidikan materi pelajaran adalah alat untuk memecahkan masalah-masalah individual, dan siswa secara perorangan ditingkatkan atau direkonstruksi, dan secara bersamaan masyarakat dikembangkan. Karena itu masalah-masalah masyarakat demokratis harus menjadi bentuk dasar kurikulum dan makna pemecahan ulang masalah-masalah lembaga demokratis juga harus dimuat dalam kurikulum. Karena itu kurikulum harus menjadi :
·         Berbasis pada masyarakat;
·         Lahan praktek cita-cita demokratis;
·         Perencanaan demokratis pada setiap tingkat pendidikan;
·         Kelompok batasan tujuan-tujuan umum masyarakat;
·         Bermakna kreatif untuk pengembangan keterampilan-keterampilan baru;
·         Kurikulum berpusat pada siswa (pupil/child centered) dan berpusat pada aktifitas (activity cenetred). Selain itu perlu dicatat bahwa kurikulum pendidikan pragmatisme diorganisasi secara interdisipliner, dengan kata lain kurikulumnya bersifat terpadu, tidak merupakan mata pelajaran-mata pelajaran yang terpisah-pisah.
Sejalan dengan uraian diatas, Edward J.Power (1982) menyimpulkan bahwa kurikulum pendidikan pragmatisme berisi pengalaman-penglaman yang telah teruji, yang sesuai dengan kebutuhan dan minat siswa. Adapun kurikulum tersebut mungkin berubah.
E.       Metode Pembelajaran dalam Pendidikan Menurut Filsafat Pragmatisme
Sebagaimana dikemukakan Callahan and Clark (1983), penganut eksperimentalisme atau pragmatisme mengutamakan penggunaan metode pemecahan masalah (Problem Solving Method) serta metode penyelidikan dan penemuan (Inquiry and Discovery Method). Dalam prakteknya (mengajar), metode ini membutuhkan guru yang memiliki sifat berikut: permissive (pemberi kesempatan), friendly (bersahabat), a guide (seorang pembimbing), open minded (berpandangan terbuka), enthusiastic (bersifat antusias), creative (kreatif), social aware (sadar bermasyarakat), alert (siap siaga), patien (sabar), cooperative dan sincere (bekerja sama dan ikhlas atau bersungguh-sungguh).

No comments:

Post a Comment