Pengantar Filsafat Pendidikan Pragmatisme
A.
Hakikat
Manusia Menurut Filsafat Pragmatisme
Hakikat
Manusia. Manusia tidak terpisah dari realitas pada umumnya,
sebab manusia adalah bagian daripadanya dan terus-menerus bersamanya. Karena
realitas terus berubah, manusia pun merupakan bagian dari perubahan tersebut.
Beradanya manusia di dunia ini adalah suatu kreasi dari suatu proses yang
bersifat evolusi (S.E. Frost Jr., 1957). “Manusia laki-laki dan
perempuan-adalah hasil evolusi biologis, psikologis dan sosial” (Edward J.
Power, 1982) sejalan dengan perubahan yang terus-menerus terjadi tentunya akan
muncul berbagai permasalahan dalam kehidupan pribadi dan masyarakatnya.
B.
Hakikat
Realitas Menurut Filsafat Pragmatisme
Hakikat
Realitas. Pragmatisme dikenal pula dengan sebutan Eksperimentalisme dan Instrumentalisme. Menurut penganut
aliran ini, hakikat realitas adalah segala sesuatu yang dialami manusia
(pengalaman); bersifat plural (pluralistic);
dan terus-menerus berubah. Mereka beragumentasi bahwa realita adalah
sebagaimana dialami melalui pengalaman setiap individu (Callahn and Clark,
1983). Hal ini sebagaimana dikemukakan William James : “Dunia nyata adalah
dunia pengalaman manusia” (S.E. Frost Jr., 1957). Sifat plural realitas antara
lain tersurat dalam pernyataan John Dewey: “Dunia yang ada sekarang ini adalah
dunia pria dan wanita, sawah-sawah, pabrik-pabrik, tumbuhan-tumbuhan dan
binatang-binatang, kota yang hiruk pikuk, bangsa-bangsa yang sedang berjuang,
dsb. .... adalah dunia pengalaman kita” (H.H. Titus et all, 1959). Mengingat
realitas ini terus berubah, maka realitas tak pernah lengkap atau tak pernah
selesai. Sebab itu tujuan akhir relitas pun berada bersama perubahan tersebut.
Jadi menurut Pragmatisme, hanya realitas fisik yang ada, teori umum tentang
realitas tidak mungkin dan tidak diperlukan (Edward J. Power , 1982).
Realitas dan
dunia yang kita amati, tidak bebas dari ide Manusia dan sekaligus juga tidak
terikat kepadanya. Realitas merupakan interaksi antara manusia dengan
lingkungannya. Manusia dan lingkungannya berdampingan, dan memiliki tanggung
jawab yang sama terhadap realitas. Dunia akan bermakna sejauh manusia
mempelajari makna yang terkandung didalamnya. Perubahan merupakan esensi
realitas, dan manusia harus siap mengubah cara-cara yang akan dikejakannya.
Manusia pada hakikatnya plastis dan dapat berubah.
Teori
Pragmatisme tentang perubahan yang ters-menerus, didasari pandangan Heraclaitos
(540-480 SM), seorang filosof Yunani, dengan Toeri “panta rei” artinya mengalir secara terus-menerus. Heraclaitos
berpendapat bahwa tidak ada sungai yang dialiri oleh air yang sama. Bagi
Pragmatisme tidak dikenal istilah metafisika, karena mereka tidak pernah
memikirkan dibalik realitas yang dialami dan diamati oleh panca indera manusia.
Realitas adalah apa yang dapat dialami dan diamati secara indrawi.
Manusia
dipandang sebagai makhluk fisik sebaga hasil evolusi biologis, sosial, dan
psikologis, karena manusia dalam keadaan terus-menerus berkembang. Manusia
hidup dalam keadaan “menjadi” (becoming)
secara terus-menerus (on goingness).
Manusia secara mendasar adalah plastis dan dapat berubah. Anak merupakan
organisme yang aktif, secara terus-menerus merekonstruksi dan menginterpretasi
serta mereorganisasi kembali pengalaman-pengalamannya. Anak akan tumbuh apabila
berhubungan dengan yang lainnya. Anak harus mempelajari hidup dalam komunitas
individu-individu, bekerja sama dengan mereka, dan menyesuaikan dirinya secara
cerdas terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
Tema pokok filsafat
pragmatisme adalah:
a) Esensi
realitas adalah perubahan;
b) Hakikat
sosial dan biologis manusia yang esensial;
c) Relativitas
nilai;
d) Penggunaan
intelegensi secara kritis.
Watak
pragmatisme adalah humanitis dan menyetujui suatu dalil bahwa manusia adalah
ukuran segala-galanya (man is the measure
of all things). Tujuan dan alat pendidikan harus fleksibel dan terbuka
untuk perbaikan secara terus-menerus. Tujuan dan cara utuk mencapai tujuan
pendidikan harus rasional dan ilmiah.
C.
Hakikat
Pengetahuan Menurut Filsafat Pragmatisme
Para filsuf
Pragmatisme menolak dualisme antara subjek (manusia yang mempersepsi dengan
objek yang dipersepsi). Manusia adalah kedua-duanya dalam dunia yang
dipersepsinya dan dari dunia yang ia persepsi. Segala sesuatu dapat diketahui
melalui pengalaman, adapun cara-cara memperoleh pengetahuan yang diandalkan
adalah metode ilmiah atau metode sains sebagaimana disarankan oleh John Dewey.
Pengalaman tentang fenomena menentukan pengetahuan. Karena fenomena
terus-menerus berubah, maka pengetahuan dan kebenaran tentang fenomena itu pun
mungkin berubah. Bagaimanapun, kebenaran pada hari ini harus juga
dipertimbangkan mungkin berubah esok hari (Callahan and Clark, 1983).
Menurut filsuf
pragmatisme, suatu pengetahuan hendaknya dapat diverifikasi dan diaplikasikan
dalam kehidupan. Adapun kriteria kebenarannya adalah workability, satisfaction
and result. Pengetahuan dinyatakan
benar apabila dapat dipraktekkan, memberikan hasil dan memuaskan. Berdasarkan
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pengetahuan bersifat relatif; pengetahuan
dikatakan bermakna apabila dapat diaplikasikan. Sebab itu pragmatisme dikenal
pula sebagai Instrumentalisme (Edward J. Power, 1982).
Pragmatisme yakin
bahwa akal manusia aktif dan selalu ingin meneliti, tidak pasif dan tidak
begitu saja menerima pandangan tertentu sebelum dibuktikan secara empiris.
Pikiran (rasio) tidak bertentangan dan tidak terpisah dari dunia, melainkan
merupakan bagian dari dunia. Pengetahuan sebagai transaksi antara manusia dan
lingkungannya, dan kebenaran merupakan bagian dari pengetahuan. Pengalaman
manusia berubah, maka akal tidak memerlukan pengetahuan yang tetap dan abadi.
Apa yang dikatakan nyata adalah apa yang dapat dialami dengan pengalaman. Inti
dari pengalaman adalah berupa
masalah-masalah yang dialami individu atau sekelompok individu. Manusia
dalam kehidupannya, baik individual maupun sosial, memerlukan alat untuk
memecahkan masalah tersebut adalah pengetahuan-pengetahuan tentatif atau
hipotesis-hipotesis. Karena itulah prgamatisme Dewey disebut instrumentalisme.
Pragmatisme
mengajarkan bahwa tujuan semua berfikir adalah kemajuan hidup. Di balik semua
gambaran berfikir terdapat tujuan tertentu untuk memajukan dan memperkaya
kehidupan walaupun kita tidak menyadarinya. Semua kebenaran mengandung watak
pragmatis. Dalam arti dapat mengabdi dalam tujuan-tujuan tertentu dari alam dan
dari pengalaman manusia, dan akan bernilai apabila dihubungkan dengan
tujuan-tujuan tertentu dari alam dan pengalaman manusia, dan akan bernilai
apabila dihubungkan dengan tujuan-tujuan tersebut. Jadi nilai pengetahuan
manusia harus dinilai dan diukur dengan kehidupan praktis. Menurut James, tidak
ada ukuran untuk menilai kebenaran absolut. Benar atau palsunya pikiran akan
terbukti di dalam penggunaannya dalam praktik dan tergantung dari berhasil atau
tidaknya tindakan tersebut.
Pengetahuan yang
benar adalah pengetahuan yang berguna. Menurut James, suatu ide itu benar
apabila memiliki konsekuensi yng menyenangkan. Menurut Dewey dan Pierce, suatu
ide itu benar apabila berakibat memberi kepuasan jika diuji secara objektif dan
ilmiah. Secara khusus pragmatisme mengemukakan bahwa ide yang benar tergantung
kepada konsekuensi-konsekuensi yang diobservasi secara objektif, dan ide
tersebut secara operasional.
Teori kebenaran
merupakan alat yang kita pergunakan untuk memecahkan masalah dalam pengalaman
kita. Oleh karena itu, suatu teori harus dinilai dalam pengertian mengenai
keberhasilan menjalankan fungsinya. Jadi, menurut pragmatisme, suatu teori itu
benar apabila berfungsi. Kebenaran bukan sesuatu yang statis, melainkan tumbuh
berkembang dari waktu ke waktu. Menurut James (Harun Hadiwijono, 1980), tidak
ada kebenaran mutlak berlaku umum, bersifat tetap, berdiri sendiri, lepas dari
akal pikiran yang mengetahui. Pengalaman kita berjalan terus, dan segala yang
kita anggap benar dalam pengalaman senantiasa berubah, karena dalam praktiknya
apa yang kita anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Oleh
karena itu, tidak ada kebenaran yang mutlak, yang ada hanya kebenaran-kebenaran,
yaitu kebenaran yang ada dalam pengalaman yang khusus yang setiap saat dapat
diubah oleh pengalaman berikutnya.
Pragmatisme juga
berpandangan bahwa metode intelijen merupakan cara ideal untuk memperoleh
pengetahuan. Kita mengerti segala sesuatu dengan penempatan dan pemecahan
masalah. Intelegensi mengajukan hipotesis untuk memecahkannya. Hipotesis yang
mampu memecahkan masalah secara gemilang adalah hipotesis yang menjelaskan
fakta-fakta dari masalah tersebut.
Untuk dapat
memecahkan masalah-masalah sosial dan perorangan yang paling penting,
diharapkan menerapkan logika sains pada pengalaman yang problematis. Menrut
John Dewey, yang dikemukakan oleh Wayne Rasyidin (1992;114), dalam menerapkan
konsep pragmatisme secara eksperimental dalam memecahkan masalah hendaknya
melalui lima tahapan, yaitu;
Langkah ke-1 : Inderteminate Solution, timbulnya
situasi ketegangan di dalam pengalaman yang perlu dijabarkan secara spesifik.
Langkah ke-2 :
Diagnosis, artinya timbul upaya mempertajam masalah sampai pada menentukan
faktor-faktor yang diduga menyebabkan timbulnya masalah.
Langkah ke-3 :
Hipotesis, artinya ada upaya menemukan gagasan yang diperkirakan dapat
mengatasi masalah, dengan jalan mengarahkan pengumpulan informasi yang
penting-penting.
Langkah ke-4 :
Hipotesis testing, yaitu pelaksanaan
berbagai hipotesis yang paling relevan secara teoritis untuk membandingkan
implikasi masing-masing kalau dipraktikan.
Langkah ke-5 : Evaluation, artinya mempertimbangkan
hasilnya setelah hipotesis terbaik dilaksanakan, yaitu dalam kaitan dengan
masalah yang dirumuskan pada langkah ke-2 dan ke-3.
Berdasarkan
langkah-langkah di atas, Dewey berusaha menyusun suatu teori yang logis dan
tepat berdasarkan konsep-konsep pertimbangan-pertimbangan,
penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang beraneka ragam, dalam arti
alternatif-alternatif. Menurut Dewey, yang benar adalah apa yang pada akhirnya
disetujui oleh semua orang yang menyelidikinya.
Selanjutnya pada
bagian lain Dewey mengatakan bahwa pengalaman merupakan satu interaksi antara
lingkungan dengan organisme biologis. Pengalaman manusia membentuk aktifitas
untuk memperoleh pengetahuan. Kegiatan berfikir timbul disebabkan karena adanya
gangguan terhadap situasi (pengalaman) yang menimbulkan masalah bagi manusia
(langkah kesatu dan kedua). Untuk memecahkan masalah tersebut disusun hipotesis
sebagai bimbingan bagi tindakan berikutnya (langkah ketiga). Dewey menegaskan,
bahwa berpikir, khususnya berpikir ilmiah merupakan alat untuk memecahkan
masalah. Itulah yang disebut metode Intelejen atau metode ilmiah.
John Dewey
dengan pandangannya yang disebut Instrumentalisme barangkali merupakan pemikir
yang sangat berpengaruh pada zamannya sehingga ia dapat memeberikan corak
kebudayaan Amerika sampai sekarang dengan pandangan hidup pragmatis dan sistem
demokrasinya. Ia mengembangkan sebuah teori pengetahuan dari sudut peranan
biologis dan psikologis. Konsep-konsepnya merupakan bimbingan untuk mengarahkan
kegiatan intelektual manusia ke arah masalah sosial yang timbul pada waktu itu.
Menurut Dewey, filsafat dalam memberikan pengarahan-pengarahan bagi perbuatan
dalam kenyataan hidup oleh karena itu, filsafat tidak boleh tenggelam dalam
pemikiran-pemikiran metafisik yang tidak ada faedahnya. Filsafat harus berpijak
pada pengalaman, dan meneliti serta mengolah pengalaman tersebut secara
kritikal. Penelitian berkaitan dengan penyusunan kembali pengalaman yang
dilakukan dengan sengaja. Oleh karena itu, penelitian dengan penilaiannya
merupakan alat untuk memperoleh pengetahuan empiris.
Implikasi teori
epistemologi terhadap pendidikan, khususnya dalam proses belajar mengajar di
sekolah, guru harus menyusun situasi belajar di sekitar masalah khusus, yang
pemecahannya diserahkan kepada siswa. Pemuda merupakan pelajar alami, karan
secara alamiah mereka ingin tahu, ingin mengadakan eksplorasi terhadap
lingkungan dimana ia tinggal. Anak akan lebih banyak belajar dari apa yang
mendorong dia untuk meneliti dan menarik perhatiannya. Guru harus memelihara
keinginan atau dorongan anak untuk meneliti. Guru harus memberikan kesempatan
kepada siswa untuk (1) belajar apa yang ia ingin ketahui, (2) selalu ingin
mengetahui yang berkaitan dengan pelajaran, seperti sains, bahasa, sejarah dan
lain-lainnya.
D.
Hakikat
Nilai Menurut Filsafat Pragmatisme
Pragmatisme
mengemukakan pandangannya tentang nilai, bahwa nilai itu relatif. Kaidah-kaidah
moral dan etik tidak tetap, melainkan selalu berubah, seperti perubahan
kebudayaan masyarakat, dan lingkungannya. Pragmatisme menyarankan untuk menguji
kualitas nilai dengan cara yang sama seperti kita menguji kebenaran pengetahuan
dengan metode empiris. Nilai maupun etis akan dilihat dari perbuatannya, bukan
dari segi teorinya. Jadi, pendekatan terhadap nilai adalah cara empiris
berdasarkan pengalaman-pengalaman manusia, khususnya kehidupan sehari-hari.
Pragmatisme tidak menaruh perhatian terhadap nila-nilai yang tidak empiris,
seperti nilai supernatural, nilai universal, bahkan termasuk nilai-nilai agama.
Menurut
pragmatisme, kita harus mempertimbangkan perbuatan manusia dengan tidak memihak
dan secara ilmiah memiliki nilai-nilai yag tampaknya memungkinkan untuk
memecahkan masalah-masalah yang dihadapi manusia. Nilai-nilai itu tidak akan
dipaksakan dengan kekuatan apapun kepada kita untuk diterimanya. Nilai-nilai itu
akan disetujui setelah diadakan diskusi secara terbuka yang didasarkan atas
bukti-bukti empiris dan objektif. Nilai lahir dari keinginan, dorongan, dan
perasaan, serta kebiasaan manusia, sesuai dengan watak manusia sebagai kesatuan
antara faktor-faktor biologis dan faktor sosial dalam diri dan kepribadiannya.
Nilai merupakan suatu realitas dalam kehidupan, yang dapat dimengerti sebagai
suatu wujud dalam perilaku manusia, sebagai suatu pengetahuan, dan sebagai
suatu ide, suatu perilaku, pengetahuan, atau ide dikatakan benar apabila
mengandung kebaikan, berguna, dan bermanfaat bagi manusia untuk penyesuaian
diri dalam kehidupan pada suatu lingkungan tertentu.
Menurut faham
pragmatisme, nilai hakikatnya diturunkan dari kondisi manusia. Nilai tidak
bersifat eksklusif, tidak berdiri sendiri melainkan ada dalam suatu proses,
yaitu dalam tindakan/perbuatan manusia (individual) merupakan bagian dari
masyarakatnya, baik atau tidak baik tindakan-tindakannya dinilai berdasarkan
hasil-hasilnya di dalam masyarakat. Jika akibat yang terjadi berguna bagi dirinya dan masyarakatnya,
maka tindakan tersebut adalah baik.
Nilai etika dan estetika tergantung pada keadaan relatif dari situasi yang
terjadi. Nilai-nilai akhir (ultimate
values) tidaklah ada, benar itu selalu relatif
dan tergantung pada kondisi yang ada (conditional).
Pertimbangan-pertimbangan nilainya adalah berguna jika bermakna untuk kehidupan
yang intelegen, yaitu hidup yang sukses, produktif dan bahagia (Callahan anf
Clark, 1983). Karena itu aliran ini dikenal dengan Pragmatisme atau Eksperimentalisme.
Implikasi Pendidikan
A.
Tujuan
Pendidikan Menurut Filsafat Pragmatisme
Filsuf
pragmatisme berpendapat bahwa pendidikan harus mengajarkan seseorang tentang
bagaimana berpikir dan menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terjadi di
dalam masyarakat. Sekolah harus bertujuan mengembangkan pengalaman-pengalaman
tersebut yang akan memungkinkan seseorang terarah kepada kehidupan yang baik.
Tujuan-tujuan pendidikan tersebut meliputi:
· Kesehatan
yang baik
· Keterampilan-keterampilan
kejuruan (pekerjaan)
· Minat-minat
dan hobi-hobi untuk kehidupan yang menyenangkan.
· Persiapan
untuk menjadi orang tua.
· Kemampuan
untuk bertransaksi secara efektif dengan masalah-masalah sosial (mampu
memecahkan masalah-masalah sosial secara efektif)
Tujuan-tujuan
khusus pendidikan sebagai tambahan tujuan-tujuan di atas, bahwa pendidikan
harus meliputi pemahaman tentang
pentingnya demokrasi. Pemerintahan yang demokratis memungkikan setiap warga
negara tumbuh dan hidup melalui interaksi sosial yang memberikan tempat bersama
dengan warga negara lainnya. Pendidikan harus membantu siswa menjadi warga
negara yang demokratis (Callahan and Clark, 1983). Karena itu menurut
pragmatisme pendidikan hendaknya bertujuan menyediakan pengalaman untuk
menemukan/memecahkan hal-hal baru dalam kehidupan pribadi dan kehidupan
sosialnya (Edward J. Power, 1982).
Untuk mengetahui apa yang
menjadi tujuan pendidikan pragmatisme, tidak terlepas dari pandangannya tentang realitas,
teori pengetahuan dan kebenaran, serta
teori nilai. Seperti telah dikemukakan, bahwa realitas merupakan interaksi manusia dengan lingkungannya. Dunia akan
bermakna sejauh manusia mempelajari makna yang terkandung di dalamnya.
Perubahan merupakan esensi dari realitas, dan harus siap mengubah cara-cara
yang akan kita kerjakan. Mengenai kebenaran, pada prinsipnya kebeneran itu tidak
mutlak, tidak berlaku umum, tidak tetap, tidak berdiri
sendiri dan tidak terlepas dari akal yang mengenal. Yang ada hanya kebenaran
khusus, yang setiap saat bis diubah oleh pengalaman berikutnya. Sedangkan
mengenai nilai, pragmatism menganggap bahwa nilai itu relative. Kaidah-kaidah
moral dan eika tidak tetap, melainkan terus berubah seperti perubahan
kebudayaan dan masyarakat.
Dari uraian diatas, dapat
ditafsirkan apa dan bagaimana tujuan pendidikan serta bagaimana pelaksanaan pendidikan
diorganisasikan. Objektifitas tujuan pendidikan harus diambil dari masyarakat
dimana si anak hidup, dimana pendidikan berlangsung, karena pendidikan
berlangsung dalm kehidupan. Tujuan pendidikan tidak berada di luar kehdupan
melainkan berada di dalam kehidupan sendiri. Seperti telah di uraikan bahwa
esensi relaitas adalah perubahan, tidak ada kebenaran mutlak, serta nilai itu
relatif, maka berkaian dengan tujuan pendidikan, menurut
pragmatism tidak ada tujuan umum yang berlaku secara universal, tidak ada
tujuan yang tetap ddan pasti. Yang ada hanyalah tujuan khusus belaka, tidak ada
tujuan yang berlaku umum yang universal. Jadi, tujuan pendidikan tidak dapat
dietapkan pada semuan masyarakat kecuali apabila terdapat hubungaan timbale
balik antara masing-masing
individu dalam masyarakat tersebut.
Walaupun pragmatisme tidak
mengenal tujuan akhir pendidikan namun Dewey (1964:94) mengemukakan beberapa kriteria dalam menentukan tujuan pendidikan yaitu harus
dihasilkan dari situasi kehidupan di sekeliling anak dan pendidik, harus fleksibel dan mencerminkan aktifitas bebas. Tujuan pendidikan, menurut
pragmatisme bersifat temporer, karena tujuan itu merupakan alat untuk
bertindak. Apabila suatu tujuan telah
tercapai maka hasil tujuan tersebut menjadi alat unuk mencapai tujuan berikutnya.
Dengan tujuan pendidikan individu harus mampu melanjutkan pendidikan. Hasil
belajar harus dapat dijadikan alat untuk tumbuh.
Beberapa karaktteristik
tujuan pendidikan yang harud diperhatikan adalah:
1.
Tujuan
pendidikan hendaknya ditentukan dari kegiatan yang didasarkan atas kebutuhan
instrinsik anak didik.
2.
Tujuan
pendidikan harus mampu memunculkan suatu metode yang dapat mempersatukan
aktifitas pengajaran yang sedang berlangsung.
3.
Tujuan
pendidikan adalah spesifik dan langsung pendidikan harus tetap menjaga untuk
tidak mengatakan yang berkaitan dengan
tujuan umum dan tujuan akhir.
Tujuan pendidikan adalah suatu kehidupan yang baik,
yaitu kehidupan seperti yang digambarkan oleh Kingsley Price (1962:476),
“Kehidupan yang baik dapat dimiliki, baik oleh individu maupun oleh masyarakat. Kehidupan yang baik merupakan
suatu pertumbuhan maksimum dan hanya dapat diukur oleh
mereka yang memiliki inelegensi (kecerdasan) yang baik. Perbuatan yang intelijen (cerdas) merupakan jaminan terbaik untuk melangsungkan
pertumbuhan, merupakan jaminan terbaik untuk moral yang baik.”
Pada hakikatnya masyarakat adalah terbaik, namun
masyarakat yang demokratis merupakan masyarakat terbaik, dimana terdapat
kesempatan untuk setiap pekerjaan, dan dalam demokrasi tidak mengenal adanya
stratifikasi sosial. Kesamaan-kesamaan merupakan jaminan bahwa setiap orang
akan dapat mengambil bagian melaksanakan segala aktivitas lembaga yang ia
masuki. Penggunaan intelegensi secara maksimal, berarti memberi kesempatan
suatu pertumbuhan kepada individu secara maksimal.
B.
Peranan
Siswa
Menurut Filsafat Pragmatisme
Dalam filsafat
pragmatisme, nilai kebenaran bersifat relatif yang berkesesuaian dengan
nilai-nilai yang disepakati masyarakat dan menunjang kepada kehidupan yang
sesuai harapan di masa depan. Maka dari itu, siswa memiliki peranan untuk
mengolah setiap pengalaman yang didapatkannya untuk mengetahui kebenaran yang
ada di masyarakatnya. Dalam hal ini, siswa akan mampu merekonstruksi setiap
pengalaman yang ia dapatkan secara kronologis selama ia hidup bermasyarakat
serta berinteraksi dengan manusia dan alam di sekitarnya. Setiap pengalaman
yang ia dapatkan nantinya akan menjadi suatu pertimbangan bagi siswa tersebut
dalam menyelesaikan suatu masalah baik yang berhubungan dengan dirinya maupun
orang lain.
C.
Peranan
Guru Menurut Filsafat Pragmatisme
Dalam
Pragmatisme, belajar selalu dipertimbangkan untuk menjadi seorang individu.
Dalam pembelajaran peranan guru bukan “menuangkan” pengetahuannya kepada siswa,
sebab upaya tersebut merupakan upaya tak berbuah. Sewajarnya, setiap apa yang
siswa pelajari sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan, minat-minat dan masalah
pribadinya. Dengan kata lain isi pengetahuan tidak bertujuan dalam dirinya
sendiri, melainkan bermakna untuk suatu
tujuan. Dengan demikian seorang siswa yang menghadapi suatu pemasalahan
akan mungkin untuk merekonstruksi lingkungannya untuk memecahkan kebutuhan yang
dirasakannya. Untuk membantu siswa, guru harus berperan :
· Menyediakan
berbagai pengalaman yang akan memunculkan motivasi. Field Trips, film-film, catatan-catatan, dan tamu ahli merupakan
contoh-contoh aktifitas yang dirancang untuk memunculkan minat siswa terhadap
permasalah penting;
· Membimbing
siswa untuk merumuskan batasan masalah secara spesifik;
· Membimbing
merencanakan tujuan-tujuan individual dan kelompok dalam kelas untuk digunakan
dalam memecahkan masalah;
· Membantu
para siswa dalam mengumpulkan informasi berkenaan dengan masalah. Secara
esensial, guru melayani para siswa sebagai pembimbing dengan memperkenalkan
keterampilan, pemahaman-pemahaman, pengetahuan dan penghayatan-penghayatan
melalui penggunaan buku-buku, komposisi-komposisi, surat-surat, narasumber,
film-film, field trips, televisi atau
segala sesuatu yang tepat digunakan;
· Bersama-sama
kelas mengevaluasi apa yang telah dipelajari; bagaimana mereka mempelajarinya;
dan informasi baru apa yang setiap siswa temukan oleh dirinya (Callahan and
Clark, 1983).
Edward
J. Power (1982) menyimpulkan pandangan pragmatisme bahwa siswa merupakan
organisme yang rumit yang mempunyai kemampuan luarbiasa untuk tumbuh; sedangkan
guru berperanan untuk memimpin dan membimbing pengalaman belajar tanpa ikut
campur terlalu jauh atas minat dan kebutuhan siswa.
Mengacu
kepada prinsip bahwa segala sesuatu terus berubah, prinsip bahwa pengetahuan terbaik
yang diperoleh melalui eksperimentasi ilmiah juga selalu berubah dan bersifat
relatif, dan prinsip-prinsip relativisme nilai-nilai, maka Callahan and Clark
(1983) menyimpulkan orientasi pendidikan pragmatisme adalah Progresivisme. Artinya pendidikan
pragmatisme menolak segala bentuk formalisme yang berlebihan dan membosankan
dari pendidikan sekolah yang tradisional. Anti tehadap otoritarianisme dan
absolutisme dalam berbagai bidang kehidupan, terutama dalam berbagai bidang
kehidupan agama, moral, sosial, politik, dan ilmu pengetahuan. Sebaliknya,
pendidikan Pragmatisme dipandang memiliki kekuatan demi terjadinya perubahan
sosial dan kebudayaan melalui penekanan perkembangan individual peserta didik.
Selain itu Callahan and Clark (1983) memandang rekonstrukionisme adalah variasi
dari progresivisme, yaitu suatu orientasi pendidikan yang ingin merombak tata
susunan kebudayaan lama, dan membangun tata susunan kebudayaan baru melalui
pendidikan/sekolah. Perbedaannya dengan progresivisme yaitu bahwa rekonstruksionisme
tidak menekankan perubahan masyarakat dan kebudayaan melalui perkembangan
individual siswa (child centered),
melainkan melalui rekayasa sosial dengan jalan pendidikan atau sekolah.
Guru di sekolah harus
merupakan suau petunjuk jalan serta pengamat tingkah laku anakuntuk mengetahui apakah yang menjdi minat
perhatian anak. Dengan mengamati perilaku anak tersebut, guru dapat
menentukan
masalah apa yang akan dijadikaan pusat perhatian anak.
Jadi dalam proses belajar mengajar ada beberapa saran bagi guru yang harus
diperhatikan, terutama
dalam menghadapi dalam kelas, yaitu:
1.
Guru
tidak boleh memaksakan suatu ide atau pekerjaan yang tidak sesuai dengan minat dan
kemmapuan siswa;
2.
Guru
hendaknya menciptakan situasi yang menyebabjab siswa akan merasakn adnya suatu
masalah yang ia hadapi, sehingga timbul minat
untuk memecahkan masalah tersebut;
3.
Untuk
membangkitkan minat anak hendaklah guru mengenal kemampuan serta minat
masing-masing siswa;
4.
Guru harus dapat bisa menciptakan situasi yang
menmbulkan kerja sama dalam belajar, antara siswa dengan siswa, antara siswa
denga guru, begitu pula antara dengan guru. (Kingley Price, 1962:467)
Jadi tugas guru dalam proses
belajar mengajar adalah sebagai fasilitator, memberi dorongan dan kemudahan kepada siswa untuk bekerja
bersama-sama, meyelidiki dan mengamati sendiri, berpikir dan menarik kesimpulan sendiri, membangun dan
menghiasi sendiri sesuai dengan minat yang ada pada dirinya. Dengan jalan ini
si anak akan belajar sambil bekerja anak harus dibangkitkan kecerdasannya agar pada diri anak timbul khasrat untuk
menyelidik secara teratur dan akhirnya dapat berpikir ilmiah dan logis, yaitu
cara berpikir yang didasarkan pada fakta dan pengalaman.
D.
Kurikulum
Pendidikan Menurut Filsafat Pragmatisme
Menurut para
filsuf Pragmatisme, tradisi demokratis adalah tradisi memperbaiki diri sendiri
(a self-correcting tradition).
Implikasinya warisan-warisan sosial budaya dari masa lalu tidak menjadi fokus
perhatian pendidikan. Sebaliknya, pendidikan seharusnya terfokus kepada kehidupan
yang baik pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Standar kebaikan
seseorang diuji secara terus-menerus dan diverifikasi melalui pengalaman-pangalaman
yang berubah. Pendidikan harus dilaksanakan untuk memelihara demokrasi. Sebab
hakikat demokrasi adalah dinamika dan perubahan sebagai hasil rekonstruksi
pengalaman yang terus-menerus belangsung. Namun demikian rekonstruksi ini tidak
menuntut atau tidak meliputi perubahan secara menyeluruh. Hanya masalah-masalah
sosial yang serius dalam masyarakat yang diuji ulang agar diperoleh
solusi-solusi baru.
Dalam pandangan
pragmatisme, kurikulum sekolah seharusnya tidak terpisahkan dari
keadaan-keadaan yang riil dalam masyarakat. Dalam pendidikan materi pelajaran
adalah alat untuk memecahkan masalah-masalah individual, dan siswa secara
perorangan ditingkatkan atau direkonstruksi, dan secara bersamaan masyarakat
dikembangkan. Karena itu masalah-masalah masyarakat demokratis harus menjadi
bentuk dasar kurikulum dan makna pemecahan ulang masalah-masalah lembaga
demokratis juga harus dimuat dalam kurikulum. Karena itu kurikulum harus
menjadi :
·
Berbasis pada masyarakat;
·
Lahan praktek cita-cita demokratis;
·
Perencanaan demokratis pada setiap
tingkat pendidikan;
·
Kelompok batasan tujuan-tujuan umum
masyarakat;
·
Bermakna kreatif untuk pengembangan
keterampilan-keterampilan baru;
·
Kurikulum berpusat pada siswa (pupil/child centered) dan berpusat pada
aktifitas (activity cenetred). Selain
itu perlu dicatat bahwa kurikulum pendidikan pragmatisme diorganisasi secara
interdisipliner, dengan kata lain kurikulumnya bersifat terpadu, tidak merupakan mata pelajaran-mata pelajaran
yang terpisah-pisah.
Sejalan dengan
uraian diatas, Edward J.Power (1982) menyimpulkan bahwa kurikulum pendidikan pragmatisme
berisi pengalaman-penglaman yang telah teruji, yang sesuai dengan kebutuhan dan
minat siswa. Adapun kurikulum tersebut mungkin berubah.
E.
Metode
Pembelajaran dalam Pendidikan Menurut Filsafat Pragmatisme
Sebagaimana
dikemukakan Callahan and Clark (1983), penganut eksperimentalisme atau pragmatisme
mengutamakan penggunaan metode pemecahan masalah (Problem Solving Method) serta metode penyelidikan dan penemuan (Inquiry and Discovery Method). Dalam
prakteknya (mengajar), metode ini membutuhkan guru yang memiliki sifat berikut:
permissive (pemberi kesempatan), friendly (bersahabat), a guide (seorang pembimbing), open minded (berpandangan terbuka), enthusiastic (bersifat antusias), creative (kreatif), social aware (sadar bermasyarakat), alert (siap siaga), patien
(sabar), cooperative dan sincere (bekerja sama dan ikhlas atau
bersungguh-sungguh).
No comments:
Post a Comment